ASAL MULA PESANTREN
DAN
METODE PEMBELAJARAN
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam telah
berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan agama Islam di Indonesia. Di
pulau Jawa lembaga ini berdiri untuk pertama kalinya di zaman Walisongo, yakni
Syaeh Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan sebutan Syaeh Maghribi. Beliau
dianggap sebagai pendiri pesantren yang pertama di tanah Jawa. Sebagai ulama
yang berasal dari Gujarat India, agaknya tidak sulit bagi Syaeh Malik Ibrahim
mendirikan pendidikan pesantren, didalamnya akan digunakan untuk mengajarkan
berbagai ajaran Islam dan pengajian, hal ini karena sebelumnya sudah ada
perguruan Hindu dan Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai tempat pendeta
dan bhikshu mengajar dan belajar. Pada waktu Islam berkembang, biara dan asrama
tidak berubah bentuk. Hanya namanya dikenal menjadi pesantren atau pondok yang
mendi tempat tinggal dan belajar para santri. Isinya berubah dari ajaran Hindu
dan Budha, diganti dengan ajaran Islam.
Seperti
yang pernah dirintis oleh para wali, dalam fase (periode) selanjutnya,
berdirinya sebuah pondok pesantren tidak bisa lepas dari kehadiran seorang
kiai. Pada umumnya, kiai tersebut biasanya sudah pernah bermukim bertahun-tahun
bahkan berpuluh-puluh tahun untuk mengkaji dan mendalami pengetahuan agama
Islam di Mekkah/Medinah, atau pernah mengaji pada seorang kiai terkenal di
wilayah Nusantara. Lalu sang kiai tersebut menguasai beberapa atau fak keilmuan
tertentu, dan selanjutnya dia bermukim pada sebuah desa. Di desa yang di mukimi (tempat tinggal) itu, ia mendirikan langgar atau surau untuk dipergunakan sholat berjama’ah.
Mula-mula
jamaahnya hanya terdiri dari beberapa orang. Pada setiap menjelang atau selesai
shalat bapak kiai mengadakan pengajian sekedarnya. Isi pengajian itu biasanya berkisar
pada soal rukun iman, rukun islam, dan akhlak. Berkat caranya yang menarik dan
keikhlasannya serta perilakunya yang sesuai dan senafas dengan isi
pengajiannya, lama-lama jama’ahnya bertambah banyak. Bukan saja orang-orang
dalam desa tersebut yang datang, tetapi juga orang-orang dari desa lain setelah
mendengar kepandaian, keikhlasan, dan budi luhur sang kiai datang kepadanya
untuk ikut mengaji.
Beberapa
waktu kemudian, sebagian dari jama’ah beliau yang turut serta ikut pengajian
ingin sekali menitipkan anak-anaknya kepada kiai. Demikianlah anak-anak itu
datang ke pesantren atas kehendak orang tua mereka dengan harapan akan menjadi
orang yang saleh, memperoleh berkah dan ridho dari bapak kiai. Semua hanya ada
tiga, empat orang anak, tetapi lama kelamaan bertambah beberapa orang anak
sehingga tempat sang guru sudah tidak cukup lagi.
Untuk
menampung anak-anak didiknya,timbullah ide bapak kiai untuk mendirikan tempat
belajar dan pemondokan. Lalu bapak kiai mengumpulkan orang tua dari anak-anak
didiknya dan mengemukakan idenya. Mendengar ide bapak kiai itu serempak pihak
orang tua santri mendukungnya. Maka didirikannya tempat belajar dan pemondokan
para santri secara gotong royong. Dengan tanpa merasa terpaksa, semua orang tua
santri dan orang-orang desa disekitarnya mengambil bagian dalam mendirikan
pemondokan dan tempat belajar bagi para santri. Maka berdirilah tempat bangunan
sederhana sebagai tempat belajar dan pemondokan para santri.
Berdasar
pada uraian tersebut pada hakikatnya tumbuhnya suatu pesantren di mulai dengan
adanya pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap kelebihan
seorang kiai dalam suatu disiplin keilmuan tertentu. Sehingga penduduk dalam
lingkungan itu banyak yang datang untuk belajar menuntut ilmu kepadanya. Karena
pengaruhnya yang cukup besar bagi masyarakat sekitarnya, maka tidak sedikit kiai
dianggap sebagai cikal bakal suatu daerah atau desa tertentu.
Sebagai
lembaga pendidikan agama Islam, model pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan
agama sedangkan sumber mata pelajarannya berasal dari kitab-kitab dalam bahasa
arab. Namun dalam waktu-waktu tertentu secara bergilir para santri mendapat
kewajiban membantu bekerja di kebun atau sawah pak kiai. Pelajaran agama yang
biasanya di kaji dalam pesantren ialah al quran, dengan tajuwid dan tafsirnya,
aqaid dan ilmu kalam, fiqih dengan ushul fiqih, hadits dengan musthalah hadits,
bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi dan
arudl, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikaji dalam pesantren umumnya
kitab yang ditulis dalam abad Pertengahan (antara abad 12 s/d 15H), atau banyak
yang menyebutnya “kitab-kitab kuning”. Metode yang lazim dipergunakan dalam
pesantren ialah sorogan, dan wetonan. Metode wotonan adalah metode
kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai
yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing
dan membuat catatan. Istilah weton berasal dari kata wektu (Jawa) yang berarti waktu. Ini sebabnya
pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau
sesudah melakukan shalat fardhu.
Di
Jawa Barat metode tersebut dikenal dengan bandongan,
sedang di Sumatera di pakai istilah halaqah.
Sistem ini terkenal juga dengan sebutan balaghan.
Adapun metode sorogan ialah masing-masing
santri menghadap guru (kiai) satu per satu dengan membawa kitab yang akan
dipelajarinya. Kiainya membacakan pelajaran berbahasa Arab kalimat demi kalimat
kemudian menterjemahkannya, dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan memberi
catatan pada kitab yang diajarkan, sebagai wujud bahwa kitab tersebut sudah
disahkan oleh sang kiai. Adapun istilah sorogan
berasal dari kata sorog (Jawa) yang
berarti menyodorkan kitabnya dihadapan sang kiai. Pengajian dengan metode
sorogan ini merupakan pengajaran kitab yang dilakukan secara intesif sebagai proses
“delivery of culture”. Metodik sorogan
ini dalam dunia pendidikan modern dapat dipersamakan dengan istilah tutorship
atau mentorship. Metodik pengajaran seperti ini diakui paling intensif, karena
dilakukan secara perseorangan. Dalam model pengajaran yang demikian, tentu ada pembelajaran
yang cukup intens antara guru dengan peserta didiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar