PERAN
PENGALAMAN DALAM PEMBELAJARAN
(Refleksi
Pemikiran John Dewey)
Berdasar
refleksi model pendidikan tradisional yang bersifat dogmatis, yang hanya
mewariskan segala pengetahuan terhadap generasi baru tanpa didasarkan pada
pengujian kritis terhadap prinsip-prinsip fundamentalnya. Kenyataan itu
mengakibatkan jika tidak berlebihan John Dewey memberikan pemikiran bahwa
pendidikan harus mempunyai perubahan orientasi, yaitu pendidikan gaya baru yang
menekankan kebebasan berpikir.[1]
Alasan
tersebut didasarkan pada pandangan pendidikan gaya lama yang lebih menekankan
pada tahayul, dongeng atau cerita, dan
jauh dari nilai pengalaman pribadi. Anggapan terhadap ketidakpastian itu
terdapat suatu kerangka acuan yang tetap, yaitu hubungan organis antara
pendidikan dan pengalaman pribadi, atau bahwa filsafat baru mengenai pendidikan
itu mengikatkan dirinya pada sejenis filsafat empiris dan eksperimental.[2]
Pengalaman
secara kualitas dapat dibedakan menjadi dua aspek, aspek pertama ialah aspek
langsung, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan. Aspek kedua adalah
pengaruhnya atas berbagai pengalaman. Uraian terakhir merupakan prinsip yang
melandasi mengapa pendidikan berkaitan dengan pengalaman. Disisi lain memberikan
inspirasi bagi guru untuk menata beberapa jenis pengalaman dengan terus
merangsang kegiatannya. Sehingga pendidikan yang didasarkan atas pengalaman
lebih memilih jenis pengalaman sekarang yang berpengaruh secara kreatif dan
produktif dalam seluruh pengalaman berikutnya.[3]
Seiring
mengalirnya arus pengalaman yang disebut oleh John Dewey dengan “eksperience
continum” atau kesatuan rangkaian pengalaman, terdapat dua macam proses,
yaitu proses mengetahui dan proses evolusi (terjadi berangsur-angsur).
Sedangkan kelanjutan dari pengalaman mempunyai makna ganda: (a) dalam suatu
waktu tertentu, bermacam ragam aspek pengalaman saling berhubungan, (b)
sepanjang waktu pengalaman berlanjut, sebagai rentetan kejadian.[4]
Disinilah proses refleksi pengalaman berlangsung, sehingga pengalaman yang
kurang berpihak dan kurang menguntungkan bagi pedagogis akan dieliminir untuk
kemudian mencoba menciptakan pengalaman yang sama sekali baru.
Keberadaan
pengalaman dalam pendidikan didasarkan pada pembiasaan. Jika ditinjau dari segi
biologis ciri dasar dari pembiasaan adalah bahwa setiap pengalaman yang
diperagakan dan dialami akan mengubah orang yang bertindak dan menjalani
pengalaman tersebut, sementara modifikasinya mempengaruhi kualitas seluruh
pengalaman berikutnya. Prinsip ini meliputi proses pembentukan berbagai sikap
emosional dan intelektual, yaitu kepekaan dasar dan segala cara menanggulangi
serta menanggapi semua situasi yang kita jumpai dalam hidup.[5]
Terkait
dengan pola pembelajaran pada anak usia dini, pengalaman menjadi faktor yang
tak terpisahkan dengan dunia mereka. Pendidikan bagi anak-anak harus
diintegrasikan dengan lingkungan kehidupan anak yang banyak menghadapkan dengan
pengalaman langsung. Lingkungan kehidupan anak dalam kelompok, banyak
memberikan pengalaman bagaimana cara melakukan sesuatu yang terdiri dari
serangkaian tingkah laku.
Dengan
demikian penggunaan metode proyek yang didasarkan pada gagasan John Dewey
tentang “learning by doing” sangat mungkin diterapkan, karena metode
proyek merupakan salah satu cara pemberian pengalaman belajar dengan
menghadapkan anak dengan persoalan sehari-hari untuk dipecahkan secara
kelompok.[6]
Dalam
pelaksanaanya, metode proyek memposisikan guru sebagai fasilitator yang harus
menyediakan alat dan bahan untuk melaksanakan “proyek” yang berorientasi pada
kebutuhan dan minat anak. Metode ini akan menantang anak untuk mencurahkan
segala kemampuan, ketrampilan serta kreativitasnya. Selain itu guru harus
menciptakan situasi yang mengandung makna penting untuk mengembangkan potensi
anak. Perluasan minat serta pengembangan kreativitas dan tanggung jawab, baik
secara perseorangan maupun kelompok. Situasi yang menyenangkan juga harus
diusahakan oleh guru agar tiap anak dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi
bagianya akan menanggapi secara positif. Perasaan yang menyenangkan dalam
menyikapi suatu kegiatan akan melahirkan kinerja yang tinggi, dan begitu
sebaliknya.[7]
[1]
John Dewey, Experience and Education, alih bahasa John de Santo, Pendidikan
dan Pengalaman, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 9
[2]
John Dewey, Ibid, Hlm. 11
[3]
Ibid., Hlm. 15
[4]
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan
Progresivisme John Dewey, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 69
[5]
John Dewey, Op. Cit., Hlm. 24
[6]
Moeslichatoen R, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Rineka
Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 137
[7]
Ibid., Hlm. 138-139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar