BENTUK-BENTUK
PEMBELAJARAN
LEARNING BY DOING
Interaksi
edukatif selayaknya dibangun guru berdasarkan penerapan aktivitas anak didik,
yaitu belajar sambil melakukan (Learning by doing). Melakukan aktivitas
atau bekerja adalah bentuk pernyataan dari anak didik bahwa pada hakekatnya
belajar adalah perubahan yang terjadi setelah melakukan aktivitas atau bekerja.
Pada kelas-kelas rendah di Sekolah Dasar, aktivitas ini dapat dilakukan sambil
bermain sehingga anak didik akan aktif, senang, gembira, kreatif serta tidak
mengikat.[1]
Lebih
lanjut guru memposisikan sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku
anak, dengan pengamatanya tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan
dijadikan pusat minat anak. Kondisi demikian merupakan perbaikan dari paradigma
pendidikan lama, yang tidak memberikan ruang bagi siswa. Di Sekolah kuno murid
hanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey seperti yang
dikutip Muis Sad Iman dalam bukunya Pendidikan Partisipatif. Keadaan seperti
itu wajib dirubah. Anak harus bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri,
berfikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai
dengan insting yang ada padanya. Tampaklah disini anak belajar sambil bekerja
dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah Learning by doing yang
dikehendaki oleh Dewey dalam do school.[2]
Keterlibatan
siswa tidak hanya sebatas fisik semata, tetapi lebih dari itu terutama adalah
keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam
pencapaian dan perolehan pengetahuan, penghayatan dan internalisasi nilai-nilai
dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan
latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.[3]
Pada
aspek lain guru juga menkondisikan anak didik dengan menggunakan bentuk-bentuk
pengajaran dalam konteks learning by doing, diantaranya:
a.
Menumbuhkan
motivasi belajar anak
Motivasi berkaitan erat dengan
emosi, minat, dan kebutuhan anak didik. Upaya menumbuhkan motivasi intrinsik
yang dilakukan guru adalah mendorong rasa ingin tahu, keinginan mencoba, dan
sikap mandiri anak didik. Sedangkan bentuk motivasi ekstrinsik adalah dengan
memberikan rangsangan berupa pemberian nilai tinggi atau hadiah bagi siswa
berprestasi dan sebaliknya.
b.
Mengajak
anak didik beraktivitas
Adalah proses interaksi edukaktif
melibatkan intelek-emosional anak didik untuk meningkatkan aktivitas sehingga
motivasi akan meningkat. Bentuk pelaksanaanya adalah mengajak anak didik
melakukan aktivitas atau bekerja di laboratorium, di kebun/lapangan sebagai
bagian dari eksplorasi pengalaman, atau mengalami pengalaman yang sam sekali
baru.
c.
Mengajar
dengan memperhatikan perbedaan individual
Proses
kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan memahami kondisi masing-masing anak
didik. Tidak tepat jika guru menyamakan semua anak didik karena setiap anak
didik mempunyai bakat berlainan dan mempunyai kecepatan belajar yang
bervariasi. Seorang anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh.
Kemudian menyimpulkan semua anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan
bodoh. Kondisi demikian tidak dapat dijadikan ukuran, karena terdapat beberapa
faktor penyebab anak memiliki hasil belajar buruk, antara lain; faktor
kesehatan, kesempatan belajar dirumah tidak ada, sarana belajar kurang, dan
sebagainya.
d.
Mengajar dengan umpan balik
Bentuknya antara lain; umpan
balik kemampuan prilaku anak didik (perubahan tigkah laku yang dapat dilihat
anak didik lainnya, pendidik atau anak didik itu sendiri), umpan balik tentang
daya serap sebagai pelajaran untuk diterapkan secara aktif. Pola prilaku yang
kuat diperoleh melalui partisipasi dalam memainkan peran (role play).
e.
Mengajar dengan pengalihan
Pengajaran yang mengalihkan (transfer)
hasil belajar kedalam situasi-situasi nyata. Guru memilih metode simulasi
(mengajak anak didik untuk melihat proses kegiatan seperti cara berwudlu dan sholat)
dan metode proyek (memberikan kesempatan anak untuk menggunakan alam sekitar
dan atau kegiatan sehari-hari untuk bertukar pikiran baik sesama kawan maupun
guru) untuk pengalihan pengajaran yang
bukan hanya bersifat ceramah atau diskusi, tetapi mengedepankan situasi nyata.
f.
Penyusunan pemahaman yang logis dan psikologis
Pengajaran
dilakukan dengan memilih metode yang proporsional. Dalam kondisi tertentu guru
tidak dapat meninggalkan metode ceramah maupun metode pemberian tugas kepada
anak didik. Hal ini dilakukan sesuai dengan kondisi materi pelajaran.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar