PRILAKU BELAJAR DALAM
MODEL
PEMBELAJARAN "LEARNING BY DOING"
Belajar bagi kehidupan manusia
menjadi bagian yang sangat penting, karena manusia diciptakan sebagai pengelola
dunia (khalifah fil ardi). Secara bertahap mereka akan mengalami fase
pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman. Sebagai ilustrasi terdekat adalah
bayi manusia yang dilahirkan, jika tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa
yang lain, tidak belajar, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu mengembangkan
naluri/intrinsik dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya tanpa pengaruh dari luar.[1]
Beberapa pendapat tentang
pengertian belajar banyak disebutkan, diantaranya, Hilgard dan Bower dalam
bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto dalam
Psikologi Pendidikan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku
seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman
berulang-ulang dalam situasi tersebut, dimana perubahan tingkah laku itu tidak
dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau
keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan
sebagainya).[2]
Lebih lanjut Piaget berpendapat seperti yang disadur Dimyati dan Mudjiono bahwa
pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus
menerus dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan, sehingga fungsi
intelek semakin berkembang. Pengetahuan dibangun atas dasar tiga bentuk, yaitu
pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial.
Sedangkan prosesnya didasarkan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan
konsep, dan aplikasi konsep. Fase eksplorasi mengarahkan siswa mempelajari
gejala dengan bimbingan, fase pengenalan konsep adalah mengenalkan siswa akan
konsep yang berhubungan dengan gejala, sedangkan fase aplikasi konsep, siswa
menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.[3]
Uraian tersebut merupakan proses
internal yang kompleks dan melibatkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subyek, yaitu dari siswa dan dari
guru. Siswa secara lagsung mengalami proses mental dalam menghadapi bahan
belajar berupa; keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia dan bahan yang
telah terhimpun dalam literatur. Proses belajar diamati dari prilaku belajar
tentang sesuatu hal, proses ini dapat diamati secara tidak langsung, yaitu
proses internal siswa tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat dipahami oleh
guru.[4]
Sebagai upaya merancang,
mengelola dan mengembangkan program pembelajaran dalam kegiatan mengajar, guru
diharapkan mampu mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran,
diantaranya:
a. Karakteristik tujuan, yang
mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau
ditinggalkan sebagai hasil kegiatan.
b. Karakteristik mata
pelajaran/bidang studi, meliputi tujuan isi pelajaran, urutan, dan cara
mempelajarinya.
c. Karakteristik siswa, meliputi
karakteristik prilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin dan
yang lain.
d. Karakteristik guru, meliputi
filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik
pembelajaran, kebiasaanya, pengalaman kependidikanya dan yang lain.
Hubungan faktor-faktor penentu
tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Peran guru dalam
hal ini adalah tetap konsisten untuk mempertimbangkan faktor eksternal (diluar
dari guru), faktor internal (dalam diri guru), sehingga teknik-teknik
pembelajaran efektif dapat dilaksanakan.[5]
Pola pengajaran guru berkaitan
erat dengan pilihan metode, jika bahan pelajaran disajikan secara menarik besar
kemungkinan motivasi belajar siswa akan meningkat.[6]
Sesuai yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa model adalah
acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[7]
Keterkaitan dengan pembelajaran sesuai ungkapan Ngalim Purwanto dalam Psikologi
Pendidikan yang mengutip pendapat Morgan dalam bukunya Introduction to
Psichology mengemukakan “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif
menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau
pengalaman.[8]
Metode yang dimaksud didasarkan pada model pembelajaran yang dipakai, model
pembelajaran dalam hal ini diartikan sebagai acuan proses perubahan tingkah
laku yang dihasilkan melalui pengalaman.
Keterlibatan langsung anak didik
dalam proses edukatif menjadi pengalaman terarah yang diharapkan mengakar pada
diri anak didik. Karena pengalaman memberikan arah positif pada seleksi dan
organisasi terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok, inilah
upaya untuk memberikan arah baru bagi tugas sekolah.[9]
Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan
secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses
perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan
cara menyajikan berbagai masalah dan konflik riil yang dapat diatasi atau
diselesaikan oleh anak secara aktif “by doing it”.[10]
[1]
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2002, Hlm. 83
[2]
Ibid., Hlm. 84
[3]
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta,
Jakarta, 2002, Hlm. 13-14
[4]
Ibid., Hlm. 18
[5]
Ibid., Hlm. 132
[6]
Syaiful Bahari Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 185
[7]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 885
[8]
Ngalim Purwanto, Op. Cit., Hlm. 84
[9] John Dewey, Experience and
Education, alih bahasa John de Santo, Pendidikan dan Pengalaman,
Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 19
[10]
Ibid., Hlm. 133-134
Tidak ada komentar:
Posting Komentar