ORIENTASI LEMBAGA
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Pendidikan
merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah
laku. Segera setelah dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan
hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
pemenuhan kebutuhan.
Pendidikan
diselenggarakan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di
sekolah atau luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang
dan berkesinambungan, jalur pendidikan terdiri atas; pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Selain jenjang tersebut dapat juga
diselenggaran pendidikan anak usia dini yang diselenggarakan sebelum jenjang
Pendidikan Dasar.[1]
Taman Kanak-kanak (TK) didirikan sebagai usaha
mengembangan seluruh segi kepribadian anak didik dalam rangka menjembatani
pendidikan keluarga ke pendidikan sekolah. Ruang lingkup program kegiatan
belajarnya meliputi: pembentukan prilaku melalui pembiasaan dalam pengembangan
moral Pancasila, Agama, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan bermasyarakat,
serta pengembangan kemampuan dasar melalui kegiatan yang dipersiapkan oleh
guru, meliputi: penegembangan kemampuan berbahasa, daya pikir, daya cipta,
ketrampilan dan jasmani.[2]
Sedangkan program kegiatan di TK berorientasi pada pembentukan prilaku melalui
pembiasaan dan mengembangan kemampuan dasar yang terdapat pada diri anak didik
sesuai tahap perkembangannya.
Hal senada diungkapkan Moeslichatoen R bahwa
karakteristik tujuan kegiatan di Taman Kanak-kanak biasanya diarahkan pada
pengembangan kreativitas, pengembangan bahasa, pengembangan emosi, pengembangan
motorik dan pengembangan nilai serta pengembangan sikap dan nilai. Hal tersebut
dilandasi oleh latar belakang anak TK yang memiliki kecenderungan selalu
bergerak, memiliki rasa ingin tahu yang kuat, senang bereksperimen dan menguji,
mampu mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi dan senang
berbicara.[3]
Pada
prinsipnya bahan pelajaran dapat disajikan secara menarik sebagai upaya
menumbuhkan motivasi belajar anak didik. Motivasi berhubungan erat dengan
emosi, minat dan kebutuhan anak didik. Motivasi intrinsik yang berarti dorongan
rasa ingin tahu, keinginan mencoba dan sikap mandiri anak didik dapat dijadikan
landasan bagi pendidik untuk menentukan pola motivasi ekstrinsik, sehingga
tujuan pembelajaran efektif. Dengan demikian dibutuhkan keterlibatan
intelek-emosional anak didik dalam proses interaksi edukatif. Guru diharapkan
mampu mengelola motivasi dengan menerapkan aktivitas anak didik, yaitu belajar
sambil melakukan (learning by doing).[4] Dalam kontek
pendidikan pra sekolah aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan
latihan-latihan secara bertahap dan berkelanjutan.
Sebagaimana
dikutip Dimyati dan Mudjiono dalam buku Belajar Dan Pembelajaran, Edga Dale
berpendapat bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman
langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekedar
mengamati, tetapi harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan
bertanggung jawab terhadap hasilnya.[5]
Dimyati dan
Mudjiono juga mengutip pendapat John Dewey yang mengemukakan Learning By
Doing adalah belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung yang
dilakukan langsung oleh siswa secara aktif baik individual maupun kelompok,
dengan cara memecahkan masalah. Guru bertindak sebagai pembimbing dan
fasilitator.[6]
Lebih lanjut
John Dewey mengemukakan bahwa persoalan pokok pendidikan adalah pengalaman,
dimana pengalaman sekarang harus berpengaruh kreatif dan produktif dalam
seluruh pengalaman berikutnya.[7] Sehingga mampu
memberikan arah positif pada seleksi dan organisasi terhadap berbagai materi dan metode
pendidikan yang cocok. Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak
bertujuan mengembangkan secara spontan segala potensi bawaan, melainkan
bertujuan merangsang proses perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan
tahap yang tetap, dengan cara menyajikan berbagai masalah dan konflik yang riil
yang dapat diatasi atau diselesaikan oleh anak secara aktif "by doing
it".[8]
Penyajian
pembelajaran dalam hal ini lebih menekankan pada aspek pemahaman dan
pelaksanaan materi pelajaran dengan tidak mengesampingkan aspek memorisasi.
Karena peserta didik diarahkan pada eksplorasi pengalaman, dan mencoba
mengalami pengalaman yang sama sekali baru. Beberapa pendekatannya adalah
praktek di Laboratorium, di Bengkel, di Kebun/lapangan yang merupakan kegiatan
dalam rangka terlaksananya "Learning by doing".[9]
Pendidik mengusahakan
anak didik untuk mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan fisik dan segala
macam gerakan atau aktifitas. Dengan serta merta anak didik mampu mengikuti
proses pendidikan dan sekaligus mengembangkan minatnya dalam bidang lain. Usaha
memunculkan minat dalam hal intelektual adalah dengan menyelesaiakan masalah,
menemukan hal baru dan menggambarkan atau menjelaskan bagaimana sesuatu hal
berlangsung, sedangkan minat yang bersifat sosial terdapat dalam hubungan
interpersonal.[10]
Peran guru
dalam mendorong munculnya minat anak didik adalah mengeliminir budaya “cekokan”
dalam arti instruksi dalam melakukan sesuatu sehingga kebutuhan aktualisasi
diri terpenuhi dan membuka lebar kesempatan untuk kreatif. Karena pada dasarnya
pendidikan menyediakan lingkungan yang
memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuanya secara
optimal sesuai dengan pribadinya dan kebutuhan masyarakat.[11]
Sebagaimana
diungkapkan Utami Munandar dalam bukunya Pengembangan Kreativitas Anak
Berbakat, Abraham Maslow mengemukakan bahwa terdapat keterkaitan antara
kreativitas dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri dipahami ketika seseorang
menggunakan semua bakat dan telentanya untuk menjadi apa yang ia mampu
menjadi-mengaktualisasikan atau mewujudkan potensinya.[12] Sedangkan
pendapat Elliot yang dikutip Anna Craft
menempatkan kreativitas sangat dekat dengan imajinasi. Kreativitas
adalah berkaitan dengan imajinasi atau manifestasi kecerdikan dalam beberapa
pencarian yang bernilai. Lebih lanjut dikatakan kreativitas tidak mengikat pada
hasil akhir, tetapi lebih mengedepankan proses. Karena proses yang dilakukan
beberapa orang dapat dianggap sebagai kreatif.[13]
Dalam kontek
pendidikan anak prasekolah terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan,
yaitu; kecenderungan aktif secara fisik, berkelompok untuk bermain,
kecenderungan mengekspresikan emosinya dengan bebas, senang bicara karena
umumnya telah terampil dalam berbahasa. Dalam hal ini kompetensi anak perlu
dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.[14]
[1] Undang-undang RI. Nomor. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, CV. Mini Jaya, Jakarta, 2003, Hlm. 21
[2] Ibid., Hlm. 3
[3] Moeslichatoen
R, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta, 1999, Hlm. 9
[4] Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta, 2000, Hlm.186
[5] Dimyati dan
Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,
1999, Hlm. 45
[6] Ibid., Hlm. 45
[7] John Dewey, Experience
and Education, alih bahasa John de Santo, Pengalaman dan Pendidikan,
Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 15
[8] Ibid., Hlm. 133-134
[9] Muis Sad Iman, Pendidikan
Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Safiria
Insania Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 56
[11] Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas
Anak Berbakat, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 6
[12] Ibid., Hlm. 18
[13] Anna Craft, Membangun Kreativitas Anak,
Inisiasi Press, Depok, 2001, Hlm. 11
[14] Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit.,
Hlm. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar