KEWAJIBAN MENDIDIK ANAK DALAM KELUARGA
(Dalam Konteks Pandangan Islam)
Al-Qur’an
menjelaskan, pada mulanya Allah menciptakan Adam, jenis laki-laki sebagai
manusia pertama. Menyusul kemudian Hawa, jenis perempuan yang menjadi ibunda
pertama umat manusia. Tidak ada pengecualian, baik laki-laki maupun perempuan
diciptakan untuk melaksanakan tugas khalifah sebagai wakil Allah di bumi
(khalifah fil-ardh). Yaitu suatu fungsi
jabatan untuk mengurus bumi dengan segala isinya atau menciptakan kehidupan yang
sejahtera lahir dan batin.
Sesungguhnya
sejak pertama kali hadir dimuka bumi, Islam memandang posisi perempuan pada
dasarnya sama dengan laki-laki. Islam tidak membeda-bedakan seseorang karena
perbedaan jenis kelamin, suku dan kebangsaan. Hanya satu yang dianggap
mempunyai nilai lebih, yaitu orang yang paling taqwa kepada-Nya.[1]
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya : Hai
manusia, sesungguhmya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
yang maha mengetahui lagi maha mengenal (QS. Al-Hujurat ayat 13).[2]
Untuk
melaksanakan tugas kekhalifahan dan menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir
dan bathin, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan pria dan wanita dalam
pernikahan. Sebuah pernikahan yang didirikan berdasarkan azas-azas yang Islami
adalah bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah dan baik-baik serta
mendapatkan ketenagan dan kebahagian di dalam kehidupan manusia. Keluarga yang
didirikan oleh sepasang suami isteri tersebut tentu telah memiliki “kedewasaan
diri” yang baik, sehingga suatu pernikahan itu akan bahagia dan penuh
dengan kesejahteraan, kerharmonisan dan
keserasian yang menyeluruh. Kondisi tersebut akan diperoleh bila kedua belah
pihak telah menyetujuinya dan berbualat hati untuk bersatu dalam membina sebuah
rumah tangga dengan kesiapan mental guna menanggung segala resiko yang akan
dihadapi dalam perjalanan pernikahan selanjutnya.[3]
Keberhasilan
perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak dan
kepentingan pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah
bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam kedudukan seperti itu, dia
berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (isterinya).
Isteri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain
perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik.[4]
Hubungan suami isteri dalam keluarga adalah
hubungan raja dengan ratunya. Keduanya saling membutuhkan secara timbal balik
yaitu agar saling mencintai dan
mengasihi dalam mahligai yang sakinah untuk beranak pianak dan berkembang
biak mengisi dunia yang luas ini.[5]
Dalam
keluarga, seorang isteri adalah juga pemimpin di rumah suaminya. Ia bertanggung
jawab mengatur suasana rumah tangga yang kondusif bagi terciptanya
kesejahteraan keluarga. Sebagaimana hadits Nabi SAW[6]
Artinya: Dari
Abdilah bin Umar r.a sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
kalian semua adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabanya atas
kepemimpinan, seorang imam menjadi pemimpin atas rakyatnaya dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinanya, seorang laki-laki adalah pemimpin
keluarga dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang
wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suami dan akan diminta
pertanggungjawaban kepemimpinannya, seorang hamba menjadi pemimpin atas harta
tuannya dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanya. (HR.
Bukhari)
Dengan
demikian, seorang isteri diperbolehkan berusaha dan menerima penghasilan yang
diperlukan untuk menjaga standar kehidupan serta berhak mendapatkan pendidikan
sesuai dengan kemampuan dirinya.
Suami
dan isteri dalam pandangan Islam sama-sama bertanggungjawab dan berkewajiban
terhadap pendidikan anak-anak serta kesejahteran keturunan dan keluarga mereka.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 9 disebutkan:
Artinya: Dan
hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatirkan terhadap
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah
mengucapkan perkataan yang benar. (QS. 4: 9) [7]
Firman
Allah di atas mempertegas tanggungjawab suami isteri harus bermitra dalam
rangka mempersiapkan generasi yang kuat dan handal baik dalam iman dan taqwa
maupun dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian,
generasi mendatang akan lebih mampu beramal shalih bagi kesejahteraan umat dan
bangsa.[8]
Awal
mula proses pendidikan anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan pernikahan,
yaitu melaksanakan sunnah Rasul, lahirnya keturunan yang dapat meneruskan
risalah. Pernikahan yang baik, seyogianya dilandasi keinginan untuk memelihara
keturunan, tempat menyemaikan bibit iman, melahirkan keluarga sehat, serta
memenuhi dorongan rasa aman, sejahtera dan sakinah, penuh mawaddah dan rahmah..
Oleh karena itu, pemilihan pasangan sebelum nikah pun menjadi kepedulian utama
dalam merancang pendidikan anak.[9]
Sebagi
suami-isteri yang kemudian disebut orang tua adalah pendidik yang pertama dan
utama terhadap perkembangan anak-anak, yang perannya sangat menentukan bagi
perkembangan anak. Orang tua hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk mendengar
dan mengingat hal-hal yang positif pada diri anak, yaitu dengan cara
menyampaikan seluk beluk pendidikan agama Islam secara bertahap. Hal ini
merupakan tanggung jawab orang tua yang benar-benar memerlukan perhatian.
Terutama sekali untuk menerapkan pola hidup yang sesuai dengan ajaran Tuhan
yang telah berkenan mengkaruniakan anak kepada mereka. Maksudnya agar anak
kelak menjadi anak yang shalih, anak yang sanggup dan lkhlas membela agama,
nusa, dan bangsa.[10]
Mendidik
anak harus dimulai sejak dini, karena perkembangan jiwa anak telah mulai tumbuh
sejak dia kecil sesuai dengan fitrahnya. Karena anak dilahirkan di dunia dalam
keadaan fitrah. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, sebagai berikut:[11]
Artinya: Dari Abu Harairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “setiap anak
yang dilahirkan, dalam keadaan fitrah (kesucian agama yang sesuai dengan
naluri). Tinggal kedua orang tauanyalah yang akan menjadikannya sebagai seorang
Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Muslim)
Jadi
anak dilahirkan masih perlu pembinaan dan pendidikan sebagai penyempurnaan atas
kejadiannya. Dalam ajaran Islam “fitrah” itu tidak berarti kosong seperti tabularasa
tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya insani
yang potensial. [12]
Pendidikan
agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak
didik. Oleh karena itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan
keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan disini yang ditekankan adalah
pendidikan oleh orang tua. Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat
dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru
agama misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau
orang lain terutama hanyalah pengajaran agama, dan wujud latihan dan pelajaran
membaca bacaan-bacaan keagamaan, termasuk membaca al-Qur’an dan ritus-ritus.
Sebagai pengajaran, peran orang lain seperti sekolah dan guru hanyalah
terbatas, terutama kepada segi-segi pengengetahuan dan bersifat kognitif
meskipun tidak berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil
memerankan pendidikan yang bersifat afektif. Namun jelas bahwa segi afektif itu
akan lebih mendalam diperoleh anak di rumahtangga melalui orang tua. Karena
peran orang tua adalah peran tingkah laku dan pola-pola hubunganya dengan anak
baik itu ayah maupun ibunya yang dijiwai dan disemangati oleh kebersamaan dan
nilai-nilai keagamaan.[13]
Di
dalam Islam kewajiban timbal balik antara suami dan isteri pun telah diberikan
tuntunan yang sebaik-baiknya. Contoh: suami-isteri berkewajiban mendidik
anak-anak mereka secara Islami. Mereka perlu selalu menjaga kehormatan
keluarga. Agar pelaksanaan kewajiban timbal balik tersebut dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, maka kerukunan, kedamaian, saling memaafkan, bantu
membantu dalam kebaikan, ketaqwaan,
lapang dada, dan penuh pengertian senantiasa dibina dan dikembangkan terus
menerus. Demikian pula tentang hak keduabelah pihak harus senantiasa dipahami.[14]
Antara
suami isteri dalam membina rumah tangganya agar terjalin cinta yang lestari,
maka antara keduanya itu perlu menerapkan sistem keseimbangan peranan,
maksudnya peranannya sebagai suami dan peranan sebagai isteri disamping juga
menjalankan peranan-peranan lain sebagai tugas hidup sehari-hari.[15]
Hal
ini sesuai dengan pendapat K.H.A. Wahid Zaini et.al, bahwa dalam hubungan antar suami isteri dalam Islam dasarnya
adalah ma’ruf, artinya cara yang dianggap baik oleh urf.[16]
Aturan ini sangat tepat sekali,berarti mendudukan hubungan suami isteri sebagai
kemitrasejajaran yang lentur dan tidak kaku sesuai pandangan baik masyarakat
setempat. Selain itu ,dapat dikemukakan untuk memperkuat terjalinnya
kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan agar masing-masing tidak saling
mendominasi.[17]
Apalagi
seorang ibu yang paling banyak dapat mempengaruhi anak, ini disebabkan karena
hubungan emosional ibu dengan anak.
Sebuah sabda Rasullullah SAW yang seringkali dikutip berkenaan dengan ini
yaitu:[18]
Artinya:
“sorga berada di bawah telapak kaki ibu”. (HR. Ahmad)
Tetapi
tentu saja yang bertanggungjawab atas pendidikan anak tidak hanya ibu. Meskipun
tidak memiliki hubungan emosional dengan anak sehangat ibu, peran bapak pun
juga sepenuhnya ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak. Faktor yang paling
menentukan dalam peranan bapak ialah kedudukannya sebagai kepala keluarga. Para
ahli umunya mengatakan bahwa dalam jiwa anak yang ingin mencari suri tauladan
sang ayah selalu menempati urutan pertama baru orang lain. Oleh karena itu
pendidikan anak pun akan ikut ditentukan, berhasil atau gagalnya, oleh
“penampilan” sang ayah dalam penglihatan anak.
Oleh
karena itu, supaya pengaruh mereka terhadap pertumbuhan anak bernilai positif,
ayah ibu harus kritis dan harus dengan penuh kesadaran melakukan pilihan jenis
arah pendidikan anaknya, dan mewujudkan kemitraan mereka dengan tulus dan
nyata.[19] Untuk mendidik anak yang optimal tentu perlu
adanya kemitraan antara suami dan isteri. Sebab suami dan isteri berkedudukan
sama dalam mendidik anaknya.
[1]
Wahid Zaini, et.al, Memposisikan Kodrat Perempuan Dan Perubahan Dalam
Perspektif Islam, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 136.
[2]
DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya cipta aksara, 1993, hlm. 845.
[3]
Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan
Psikologi Dan Agama, Pustaka Pelajar,, Yogyakarta, 1997, hlm. 24.
[4] M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet. 3, Mizan, Bandung, 1996, hlm.
211.
[5] R
A. Gunadi, et. al, Sederhana Itu Indah,
Republika, Jakarta , 2000, hlm. 79.
[6]
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari Jilid II, Syirkah Nur, Toha Putra Semarang, tt, hlm.
84.
[7]
Depag RI, Op. Cit., hlm. 116.
[8] R A. Gunadi, Op.Cit, hlm. 80.
[9]
Djawaj Dahlan, Pendidikan Agama Dalam
Keluarga, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 67.
[10]
Boehari, Agama Sumber Nilai-Nilai
Pembinaan Anak, Ramadhani Jakarta, 1993, hlm. 24.
[11]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz IV,
Dar al-Kutub, Bairut, Libanon, tt, hlm. 2047.
[12]
Ahmad, Islam Sebagi Paradigma Ilmu Pendidikan,
CV. Aditya Media, Yogyakarta, 1992, hlm. 53.
[13]
Nur Kholis Majid, Masyarakat Religius,
Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Paramadina,
Jakarta , 2000, hlm. 92.
[14]
Hasan Basri, Op. Cit., hlm. 31.
[15]
Ibnu M. Rasyd, Mahligai Perkawinan, CV Bahagia, Pekalongan, 1989, hlm.
75.
[16]
Menurut Abdul Wahab Khallab urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh
orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka baik berupa perkataan, atau
pebuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat. Sedang menurut
istilah para ahli sara, tidak ada perbedaan antara urf dan adat
kebiasaan. Lihat Abdul Wahhab Khallab, Ilmu Ushul al- Fiqh, Maktabah al-Dakwah Islamiyah Syabab
al-Azhar, Jakarta, 1410 H/1990 M, hlm. 89.
[17]
Wahid Zaini, et.al, Op. Cit, hlm. 139.
[18]
Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani Al
Marwazi, Musnad Ahmad, Juz 3, Tijariyah Kubra, Kairo, tt, hlm. 458.
[19]
Nur Kholis Majid, Op.Cit, hlm. 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar