Dalil-Dalil Pembuktian Adanya Tuhan
Sifat manusia
mempercayai Tuhan pencipta alam ini terdapat bersama dengan adanya tubuh
manusia, sebagaimana yang ternyatasemenjak zaman yang dikenal sampai hari ini.[1] Setiap manusia mempunyai
kecenderungan untuk membuktikan wujud Tuhannya, bahkan secara langsung, seperti
Nabi Musa sendiri pernah meminta agar Dia memperlihatkan diri kepadanya.[2]
“Dan Tatkala Musa datang untuk
(munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah
berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah
(diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman:
kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka
jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”.
Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama beriman”. (Q.S. al-A’raf:143)[3]
Tuhan Allah itu ada
tetapi bagaimana dapat dibuktikan dan diuraikan adanya Allah ini? Dalam hal ini
ada berbagai macam dalil dan jalan dapat digunakan. Beberapa di antaranya:
1. Dalil
Fisika
Dalil ini mula-mula dipakai oleh Abdul
Huseli Al-Allaf, seorang ahli dalam mazhab Mu'tazilah, pengikut Wasil bin
Atha'. Dia memulai Dalil ini dengan teori atom. Bahwa alam ini baik yang berupa
zat padat, zat cair ataupun zat gas, semuanya dapat dibagi-bagi hingga ke
bagian yang terkecil yang biasa disebut orang molekul. Molekul-molekul ini satu sama lainnya saling
tarik-menarik. Karena kekuatan tarik-menarik inilah terjadi benda-benda itu.
Tiap-tiap molekul itu terjadi dari atom-atom yang teratur valensinya, teratur
beratnya, dan juga teratur persejiwaannya satu dengan lainnya. Tiap-tiap atom
ini berputar-putar di sekitar atom-atom yang lain.
Dari
perputaran atom inilah kemudian timbul daya tarik menarik antara
molekul-molekul. Kalau atom-atom itu
tidak berputar-putar, tidak akan ada daya tarik-menarik, maka tidak akan ada
satu pun benda di alam ini.[4]
Timbul
pertanyaan: Siapakah gerangan yang memutar dan menggerakkan atom- atom yang
sebanyak itu? Sudah barang tentu karena ada gerakan pasti ada yang menggerakkan
dan yang menggerakkan atau memutar ini tidak ada lain kecuali Tuhan. Jadi
jelaslah, bahwa Tuhan itu ada.
Atau
dalil Fisika ini dapat diuraikan begini; di dalam alam ini, ada susunan dan
peraturan yang amat bagus. Dengan teratur sekali bumi bergerak mengitari
matahari dalam waktu 365 hari 5 jam 49 menit 12 detik, sedang bulan mengitari
bumi dalam waktu 29 hari 12 jam 44 menit dan 3 detik. Begitu juga planet-planet
dan bintang-bintang lainnya. Semuanya berjalan dengan teratur sekali di angkasa
raya, dan tak sekalipun pernah berantuk atau bertubrukan satu sama lain.
Kemudian
dengan adanya susunan yang demikian hebat dan adanya peraturan alam semesta
yang harmonis ini, dapatkah terjadi dengan sendirinya? Tentu saja tidak dapat,
dan tentulah semua itu terjadi dan berlaku karena ada yang mengendalikan dan
mengaturnya. Adapun yang mengendalikan dan mengatur ini, tidak ada lain kecuali
Tuhan. Jadi makin jelas, bahwa Tuhan itu memang ada.[5]
2. Dalil
Akhlak
Dalil akhlaq ini, berasal dari Immanuel Kant (
1724-1804).
Kant
berpendapat, bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Perasaan
moral ini, tidak diperoleh dari pengalaman dalam hidupnya di dunia, tetapi
merupakan pembawaannya sejak lahir. Dengan perasaan moral itu, orang merasa
bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan
menjalankan perbuatan-perbuatan baik.
Dan
perasaan berkewajiban melakukan
perbuatan baik dan menjauhi perbuatan
buruk itu sama sekali tidak tergantung pada akibat-akibat yang akan timbul dari
perbuatan itu. la harus berbuat baik semata-mata, karena perintah yang datang
dari dalam hati sanubarinya untuk berbuat baik. Demikian pula ia merasa berkewajiban
untuk menjauhi perbuatan buruk semata-mata, karena perintah yang timbul dari
dalam hati nuraninya.
Perintah
dari dalam hati ini, bersifat absolut dan universil (categorical imperative).
Perbuatan baik dilakukan karena perintah memang demikian. Dan pekerjaan jahat
dijauhi, karena perintah juga mengatakan demikian. Perbuatan baik dilakukan dan
perbuatan buruk di jauhi karena itu adalah kewajiban manusia.
Dalam
pada itu menurut pengalaman yang sering terjadi didunia, dapat diketahui bahwa
tidak selamanya perbuatan-perbuatan baik membawa kepada kebaikan, dan perbuatan
buruk acapkali pula tidak mendapat hukuman sebagaimana mestinya. Dengan
demikian antara apa yang terjadi dalam kehidupan di dunia dan perintah yang
datang dari dalam sanubari, ada kalanya kontradiksi dalam praktek. Tetapi
sungguhpun demikian, manusia tetap merasa bahwa ia berkewajiban mendengar
perintah sanubarinya itu.
Suasana
kehidupan duniawi yang seringkali pincang atau tidak adil itu menimbulkan suatu
perasaan, yaitu pasti ada kehidupan yang kedua dibalik kehidupan yang pertama
yang sekarang ini. Hidup yang kedua ini kekal abadi, dan dalam hidup yang kekal
inilah perbuatan-perbuatan baik yang belum mendapat balasan baik, dan
perbuatan-perbuatan buruk yang belum mendapat hukuman, akan memperoleh
balasannya masing-masing. Yang baik dibalas baik, yang buruk diganjar hukuman.
Dan
adanya pembalasan yang demikian itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya,
tetapi pastilah pembalasan yang adil itu berasal dari satu zat yang maha adil,
dan zat inilah yang disebut Tuhan. Demikian dalil Akhlaq dari Kant. Dalil
akhlak tersebut dapat disederhanakan lagi, sebagai berikut;
Manusia
mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam hati sanubarinya,yang selalu
menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk. Perasaan moral demikian,
tidak diperoleh dari pengalaman, tetapi telah dibawanya sejak lahir. Kalau
demikian, dari mana asal perasaan moral tersebut? Jawabnya, tentu saja ia
berasal dari suatu zat yang maha tahu akan baik dan buruk. Zat yang maha tahu
inilah yang disebut Tuhan. Perbuatan baik dan buruk mengandung arti
nilai-nilai. Nilai-nilai itu jelas tidak berasal dari manusia, tetapi telah
dibawa sejak lahir. Dengan begitu nilai-nilai tersebut berasal dari luar
manusia, yaitu dari suatu zat yang keadaannya lebih tinggi dari manusia. Dan
zat inilah yang bernama Tuhan.
Selanjutnya
adanya nilai-nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai-nilai. Pencipta
nilai ini pulalah yang biasa disebut Tuhan.[6]
3. Dalil
Kesaksian
Untuk
membuktikan benar tidaknya sesuatu persoalan, diperlukan adanya kesaksian.
Dalam dunia peradilan misalnya, hakim yang jujur tak akan menjatuhkan vonis
kepada terdakwa, bilamana persoalan yang menyangkut terdakwa belum jelas dan
meyakinkan, dan untuk meyakinkan ini juga diperlukan adanya saksi-saksi.
Orang
banyak percaya bahwa kota-kota seperti Kairo, Moskow, Washington, Mekkah dan
lain-lain itu ada. Kepercayaan itu pada umumnya bukan karena mereka telah
pernah datang menyaksikannya, tetapi karena menurut kata orang yang pernah datang
ke sana, bahwa kota-kota tersebut memang ada. Jadi juga berdasarkan atas
kesaksian.
Bahwa
Tuhan itu ada, juga dapat dibuktikan karena adanya sejumlah para saksi yang
telah ada dari masa ke masa, yang telah berhasil membuktikan bahwa Tuhan itu
ada, berkata, mendengar, melihat dan bertindak dengan hebatnya. Mereka para
saksi adanya Tuhan ini terdiri dari manusia-manusia pilihan, berakhlaq luhur,
dapat dipercaya, tak pernah berdusta. Mereka itulah para Nabi dan Rasul Tuhan
yang pernah lahir di muka bumi. Jadi, berdasar kesaksian-kesaksian para Nabi,
memang Tuhan itu ada.
4. Dalil
Inayah dan Ikhtiro’
Dalil
Inayah dikemukakan oleh Ibnu Rusyd
atau Averroes, seorang filosof Islam terkenal yang hidup antara tahun
1126-1198. Selain dalil Inayah ini,
Ibnu Rusyd mengemukakan pula dalil Ikhtiro
Kedua
dalil Ibnu Rusyd ini, dalam soal pembuktian adanya Tuhan dinilai oleh para
ulama sebagai dalil-dalil yang paling kuat dan tidak berbelit-belit, sebab
kedua dalil tersebut tidak saja sesuai dengan akal pikiran, tetapi juga cocok
dengan ayat-ayat Al-Quran. Inayah
artinya perhatian, perindahan. Maksudnya ialah perhatian/perindahan Tuhan,
dalil ini menyatakan bahwa alam ini dan segala isinya sesuai betul dengan
kehidupan manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Umpamanya siang dan malam,
matahari dan bulan, pergantian musim,hewan tumbuh-tumbuhan dan hujan, dan lain
sebagainya. Semuanya sesuai betul dengan kehidupan manusia, seolah-olah
semuanya itu memang dijadikan untuk kepentingan manusia.[7]
Persesuaian
ini, tentu saja tidak terjadi secara kebetulan, tetapi terjadi karena
penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan.
Bahkan juga persesuaian itu menunjukkan adanya perhatian/pemeliharaan dari Sang
Pencipta tadi terhadap alam semesta ini,
Dan
siapa lagi Sang Pencipta ini selain daripada Allah SWT. Pandangan akal
semata-mata dari Ibnu Rusyd ini, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
Al-Qur'an, di antaranya :
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai
hamparan?
Dan gunung-gunung sebagai pasak?
Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan.
Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat,
Dan kami jadikan malam sebagai pakaian,
Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,
Dan kami bina diatas kamu tujuh buah (langit) yang
kokoh,
Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari),
Dan kami turunkan dari awan air yang banyak
tercurah,
Supaya
kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, Dan kebun-kebun
yang lebat? (Al-Qur'an S. An-Naba’ 6 s/d 16) Dalam pada itu adanya perhatian dan
kebijaksanaan Tuhan, nampak jelas pula pada diri manusia, terutama ketika masih
bayi. Mula-mula manusia dikeluarkan dari perut ibu dengan tidak mengetahui
apa-apa. Tetapi kemudian akal manusia berangsur-angsur maju sedikit demi
sedikit, sesuai dengan perkembangan jasmaninya.
Andaikata
sejak lahir itu manusia telah diberi akal yang telah bekerja, tentulah manusia
akan merasa berat dibalut erat-erat tubuhnya, tentulah manusia akan gelisah
benar berhubung kekuatan badannya belum dapat memenuhi kehendak akalnya, dan
selain itu kalau manusia lahir telah berakal, tentulah mereka tidak akan
mendapatkan kasih sayang orang tua, sebagaimana halnya bayi-bayi yang lahir
dengan tidat berakal.
Dengan
demikian, kelahiran manusia dengan keadaan bodoh dan belum dapat memikirkan
sesuatu, adalah bersesuaian benar dengan keadaan manusia yang masih bayi.
Kemudian setelah manusia itu bertambah besar, akal manusiapun naik dan maju
pula, sehingga sesuai dengan perkembangan jasmaninya.
Ini
semua, mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi pastilah ada yang
menjadikan, yaitu Tuhan. Dialah yang telah memperhatikan dan memelihara segala
sesuatu yang diciptakannya, sehingga segalanya sesuai betul dengan keadaan
masing-masing hasil ciptaannya itu.[8] Firman Tuhan :
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu (Al-Qur'an S. AnNahl 78).[9]
Dapat
disimpulkan, bahwa dalil Inayah
berusaha untuk membuktikan adanya Tuhan, khusus dari segi adanya perhatian atau
perindahan kapada segala yang ada ini, sehingga segalanya ada dan berlaku
sesuai benar dengan kepentingan dari masing-masing makhluk.
Adapun
dalil Ikhtiro' artinya
penciptaan. Sesuai dengan artinya ini, maka Dalil Ikhtiro’ berusaha
membuktikan adanya Tuhan, khusus dari segi penciptaan alam semesta ini. Dalil ini ditegakkan atas dua dasar.
Dasar pertama;
bahwa keadaan segala yang berwujud inilah mukhtaro' (diciptakan).
Dasar ini ditegaskan sendiri oleh Tuhan :
"Sesungguhnya Tuhan-Tuhan yang kamu sembah selain Allah, tidak dapat menjadikan (walaupun) seekor lalat, sekalipun mereka berhimpun untuk berusaha menjadikannya" (Al-Qur’an S.Al Haj: 73)[10]
Dasar
kedua : bahwa keadaan tiap-tiap yang diciptakan mempunyai mukhtari'nya
(penciptanya). Dari dua dasar itu dapat ditarik kesimpulan bahwa segala yang
ada di alam ini, pastilah mempunyai Fail Mukhtari'nya (pembuat yang
menciptakannya atau Sang Pencipta). Dan Fail Mukhtari' ini tiada lain
kecuali Tuhan Allah. Pada prinsipnya, dalil ikhtiro’ menetapkan, bahwa alam ini
baru ada, sesudah diadakan, Tiap-tiap yang baru tentulah dengan sendirinya
berhajad kepada yang mengadakannya. Tidak mungkin sekiranya alam ini dapat
mengadakan dirinya sendiri. Dan yang mengadakan segalanya ini, dialah Tuhan
yang Wajibul Wujud.[11]
Perhatikan
firman Tuhan berikut ini :"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari
apa dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan ... (Al-Qur'an S. Ath-
Thariq 5– 7).[12]
[1]
Zainal Arifin Abbas, Perkembangan
Pikiran Terhadap Agama, jilid 1,
Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1984, hlm. 95.
[2] Amin Syukur, Pengantar Studi Islam , Teologia Press bekerjasama dengan CV.Bima
Sejati, Semarang, 2000, hlm. 37.
[3]
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
DEPAG RI, Surabaya, 1978, hlm. 243.
[4]
Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Akidah Lengkap, PT.Bina Ilmu Surabaya,
1999, hlm. 44.
[5]Humaidi
Tatapangarsa, Kuliah Akidah Lengkap,
PT.Bina Ilmu Surabaya, 1999, hlm. 38.
[6]
Harun Nasution, Falsafat Agama , Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm.
58-62.
[7]
Abu Ahmadi, op. cit, hlm. 270.
[8] A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam ,
Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm. 239-263.
[9]
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir, op. cit, hlm. 413.
[10] Ibid,
hlm. 523.
[11]
T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Al-Islam , jilid 1, Bulan Bintang, Jakarta,
1971, hlm. 57-65. Bandingkan uraian J.W.M.Bakker, Sejarah Filsafat Dalam
Islam , Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1978, hlm. 73-82.
[12] Ibid,
hlm. hlm 1048
Tidak ada komentar:
Posting Komentar