PEMIKIRAN KETUHANAN
AL-FARABI
Al-Farabi adalah
filosof Muslim yang bergelar al-Muallim al-Tsani atau The Second
Master (guru kedua) setelah Aristoteles yang bergelar al-Muallim
al-Awwal atau The First Master (guru pertama),(Pradana Boy, 2004: 109 nama lengkapnya, Abu Nasr
Muhammad ibn Muhammad ibn Tarakhan ibn Uzalagh al-Farabi.(JWM.Bakker SY, 2003: 32) Ia lahir di Wasij, suatu desa di Farab
(tansoxania) di tahun 870 M. Menurut keterangan ia berasal dari Turki dan orang
tuanya adalah seorang jenderal. Ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab ia
kemudian pindah ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu itu, di sana ia
belajar pada Abu Bishr Matta ibn Yunus (penterjemah), dan tinggal di Bagdad
selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif
al-daulat memusatkan perhatiannya pada pengetahuan dan falsafat.
Isi dari falsafat
al-Farabi adalah falsafat emanasi atau pancaran, yaitu dengan falsafat
ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang
satu. Tuhan bersifat maha satu tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti
banyak, maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun, kalau demikian hakekat
sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang maha
satu? menurut al-farabi alam terjadi dengan cara emanasi.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran ini timbullah maujud lain, Tuhan merupakan wujud pertama dan
dengan pemikiran itu timbulah wujud kedua yang juga mempunyai substansi. Ia
disebut akal pertama, (first intelligence) yang tak bersifat materi.
Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah
wujud ketiga disebut akal kedua, (second intellegence).
Wujud kedua atau
akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah langit
pertama (first heaven). Pada pemikiran wujud kesebelas/.akal
kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal
kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar
dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Jadinya ada 10 akal
dan 9 langit yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia
yang ditempati manusia ini. Tentang qidam (tidak bermula) atau baharunya
alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut
Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan tidak mempunyai
permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi
sekaligus dengan tak berwaktu.
Alam terjadi
melalui ciptaan sekaligus tanpa waktu oleh Tuhan yang Maha Agung. Tidak jelas
apa yang dimaksud al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi
al-Farabi alam ini baharu. Tetapi De Boer mengatakan alam bagi al-Farabi qadim
(tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancarkan dari wujud
Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan
penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam ( Harun Nasution, 1994: 20)..
Jiwa manusia
sebagai mana halnya dengan materi asal memancarkan dari akal kesepuluh.
Sebagaimana Aristoteles ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai
daya-daya: gerak, mengetahui,
berpikir, akal potensial, akal aktual, akal mustafad.
Akal potensial menangkap bentuk-bentuk
dari barang-barang yang dapat yang dapat ditangkap dengan pancaindra, aktual
aktual menangkap arti-arti dan konsep. Sedangkan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang di atas dan di luar
diri manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama akal aktif (active
intellect) yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak
azal. Hubungan akal manusia dengan akal aktif sama dengan hubungan mata
dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal
manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari
akal aktif (Ahmad Hanafi, 1990: 18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar