PEMIKIRAN KETUHANAN
MENURUT AL-KINDI
Al-Kindi adalah filosof pertama dalam dunia filsafat Islam.
Pemikiran-pemikiran filosofisnya sangat menonjol, hal ini terutama karena dia
adalah filosof muslim yang berusaha untuk menyelaraskan agama dan filsafat.
Posisi al-Kindi yang meyakini bahwa agama dan filsafat atau nalar dan wahyu
bisa diselaraskan kemudian terulang kembali dalam sejarah peradaban manusia
beberapa abad kemudian, melalui apa yang dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas
dalam tradisi Kristen beberapa abad kemudian.[1]
Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof
Islam lainnya. Al-kindi, selain dari
filosof, adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bagian:
a.
Pengetahuan
ilahi (devine science), sebagaimana yang tercantum dalam Qur’an yaitu pengetahuan yang langsung
diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b. Pengetahuan manusiawi (human Science) atau
falsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason)
Argumen-argumen yang dibawa al-Qur'an lebih meyakinkan daripada
argumen-argumen yang ditimbulkan
falsafat. Tetapi falsafat dan al-Qur'an tidak bertentangan dengan
kebenaran yang dibawa falsafat. Mempelajari falsafat dan berfalsafat tidaklah
dilarang, karena teologi adalah bagian dari falsafat, dan umat Islam diwajibkan
belajar teologi.
Falsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of
truth). Di sinilah terlihat persamaan falsafat dengan agama. Tujuan agama
adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik; falsafat itu pulalah
tujuannya. Agama, di samping wahyu, mempergunakan akal; dan falsafat juga
mempergunakan akal.[2]
Yang benar pertama (the first truth) bagi al-Kindi adalah Tuhan.
Falsafat dengan demikian membahas Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya.
Falsafat yang paling tinggi adalah falsafat tentang Tuhan. Sebagai kata
al-Kindi :
Falsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama,
yaitu ilmu tentang yang benar pertama,
yang menjadi sebab bagi segala yang benar.[3] Adapun mengenai keesaan Tuhan,
bahwa masalah keesaan Tuhan ini muncul karena dalam kenyataan bahwa
ciptaan Tuhan begitu banyak, dan apakah dengan banyaknya ciptaan itu tidak
mengganggu keesaan? Untuk menjelaskan masalah ini, al-Kindi mencoba menjawab
lewat teori tentang kebenaran. Menurutnya, kebenaran adalah persesuaian antara
apa yang ada di dalam akal dan apa yang ada di luar akal.[4] Selanjutnya, bahwa di
dalam alam ini terdapat pada benda-benda yang tidak dapat ditangkap dengan
panca indera. Benda-benda itu merupakan juz'iyat (particulars) dan yang
terpenting dalam filsafat bukan yang juz'iyat dan tak terhingga
banyaknya itu, melainkan yang terdapat dalam Juz'iyat itu, yaitu kulliyat
(universal).
Selain itu, menurutnya bahwa tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu
hakikat yang disebut anniyah, dan hakikat yang disebut kulli yang
sebenarnya mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal yang mengambil
bentuk genus dan species.[5] Al-Kindi menyifati Tuhan
dengan istilah-istilah baru. Menurutnya Tuhan adalah yang benar dan
tinggi serta dapat disifati dengan sebutan-sebutan negatif, seperti Tuhan bukan
materi, tak berbentuk, tak berjumlah dan tak berhubungan. Tuhan juga tak dapat
disifati dengan ciri-ciri yang ada di alam. Tuhan tak berjenis, tak terbagi dan
tak berkejadian. la abadi, oleh karena itu, la Maha Esa dan selain- Nya adalah
terbilang.[6] Dalil-dalil al-Kindi dalam
membahas tentang kemaujudan Allah bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab
akibat segala sesuatu yang maujud pasti ada yang mewujudkan. Rangkaian sebab
ini terbatas. Oleh karena itu, perlu ada sebab pertama atau sebab sejati, yaitu
tiada lain adalah Allah sendiri yang tak berjenis. Dengan kata lain, bahwa
dalam pencariannya itu, al-Kindi mengikuti jalur ahli logika.
Selanjutnya pembahasan mengenai penciptaan
alam, al-Kindi dalam bukunya "Rasa'il
al-Kindi al-Falsafiyah" menjelaskan bahwa alam ini dijadikan
oleh Allah dari tidak ada kepada ada. Di samping itu pula Allah, juga yang
mengendalikan dan mengatur serta menjadikannya sebagai sebab bagi yang lain.
Alam mi diciptakan Allah dari tiada, dan oleh karenanya al-Kindi menyanggah
teori mengenai ke-qadim-an alam seperti yang dikatakan oleh Aristoteles.
Menurut al-Kindi, di alam ini terdapat berbagai gerak antara lain gerak yang
menjadikan dan yang merusak, dan gerak yang seperti ini ada empat sebabnya,
yaitu: sebab material, formal, pembuat dan sebab tujuan. Sebab-sebab tersebut
pada akhirnya bertemu pada ”Sebab Pertama” yang menyebabkan segala kejadian dan
kemusnahan di alam ini, yakni Allah SWT.[7]
Jadi alam ini menurut al-Kindi terdiri dua bagian, yaitu, alam yang
terletak di bawah falak bulan, dan alam yang merentang tinggi sejak dari falak
bulan sampai ujung alam. Alam yang pertama ini terjadi dari empat unsur
tersebut, dan karenanya mengalami perubahan, pertumbuhan dan kemusnahan,
sedangkan alam jenis kedua adalah alam yang tidak bertumbuh dan tidak musnah,
karena itu tidak terjadi dari unsur-unsur tersebut, sehingga bersifat abadi.
Alasan lain dikemukakan oleh al-Kindi untuk menyatakan bahwa alam ini tidak
kekal adalah mengenai teori ketakterhinggaan secara matematik.[8] Menurutnya, benda-benda
fisik ini terjadi dari materi dan bentuk, serta bergerak dalam ruang dan waktu.
Dengan demikian, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari segala sesuatu
yang bersifat fisik, dan wujud yang erat hubungannya dengan fisik, waktu dan
ruang ini terbatas, karena keberadaannya adalah keterbatasan. Dengan ketentuan
tersebut, maka setiap benda yang terjadi dari materi dan bentuk, yang terbatas
oleh ruang dan gerak di dalam waktu, adalah terbatas, meski benda itu adalah
wujud dunia. Karena benda itu terbatas, maka ia tidak kekal, dan hanya
Allah-lah yang kekal. Demikianlah teori penciptan alam yang diajukan al-Kindi,
yaitu diciptakan dari ketiadaan, bersifat terbatas dan tidak kekal.
Sesuai dengan ajaran paham Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta
dan bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi
bukan kekal di zaman lampau (qodim), tetapi mempunyai permulaan. Karena
itu dalam hal ini ia lebih dekat dengan filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa
Yang Maha Satu (to hen) adalah sumber dari alam ini dan sumber dari
segala yang ada. Alam ini adalah emanasi
atau pancaran dari Yang Maha Satu. Sayang, paham emanasi al-Kindi itu tidak
begitu jelas.[9]
[1]
Pradana Boy, Filsafat Islam ,
Sejarah, Aliran dan Tokoh, Universitas Muhammadiah Malang, 2003, hlm. 87.
Lihat juga Ali Mahdi Khan, Dasar-dasar Filsafat Islam Pengatar Ke Gerbang
Pemikiran, terj. Subarkah, Yayasan Nuansa Cendekia, Bandung, 2004, hlm.
47.
[2] Pradana Boy ZTF, op. cit, hlm. 89.
[3]
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam , cet. 9, PT. Bulan
Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 9.
[4]
Juhaya S.Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Yayasan Pria,
Jakarta, 2003, 197.
[5]
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Dirasah Islamiah IV),
cet, 1, Citra Niaga, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hlm. 17-18
[6]
M.M. Syarif, The History of Muslim Philosopy, Bagian ke-3 “The
Philosopher”, terj, Ilyas Hasan, Mizan, Bandung,1993, hlm.21
[7]
Abuddin Natta. Op.cit, hlm. 122-123.
[8]
M.M. Syarif, Op.cit, hlm. 24.
[9]
Juhaya S.Praja, op. cit, hlm. 198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar