Bentuk-Bentuk Pendidikan Anak
Dalam Ajaran Agama Islam
Pendidikan anak pada
dasarnya adalah tanggung jawab orang tua. Oleh karena itu kedua orang tua harus
menjadi mitra dalam mendidik anak.[1] Maka pendidikan yang harus
diberikan kepada anak di antaranya:
1.
Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan Bagi Anak-Anaknya
Keluarga mempunyai peranan penting untuk menolong
pertumbuhan anak-anaknya dari
segi jasmani, baik aspek perkembangan ataupun aspek perfungsian. Begitu juga untuk menciptakan kesehatan jasmani yang
baik dan kewajaran jasmani yang
sesuai. Begitu juga dalam hal memperoleh
pengetahuan, konsep-konsep, ketrampilan-ketrampilan, kebiasaan-kebiasaan, dan sikap
terhadap kesehatan yang harus dipunyai untuk mencapai kesehatan jasmani yang sesuai dengan umur, menurut
kematangan, dan pengamatan mereka.
Peranan keluarga dalam menjaga
kesehatan anak-anaknya dapat
dilaksanakan sebelum bayi lahir. yaitu melalui pemeliharaan terhadap kesehatan
ibu dan memberinya makanan yang baik dan
sehat selama mengandung, sebab
itu berpengaruh pada anak dalam
kandungan. Sehingga apabila
bayi telah lahir
maka tanggung jawab keluarga
terhadap kesehatan anak
dan ibunya menjadi
berlipat ganda.[2]
Dia dapat memperoleh banyak cara-cara dan
jalan-jalan perlindungan (protection),
pengobatan, dan pengembangan untuk
menunaikan tanggung jawab ini. Di antara cara-cara yang
dapat menolong untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan jasmani dan kesehatan anak-anak adalah memberi peluang
yang cukup untuk
menikmati susu ibu,
jika kesehatan ibu
membolehkan yang demikian. Sebab pada
susu ibu, terkandung makanan
jasmani, psikologikal dan
spritual yang tidak terdapat
pada susu botol, walau bagaimana
sekalipun kandungan dan
susunan bahan-bahannya. Di
antara cara-cara ini juga adalah:
menjaga kesehatan dan kebersihan jasmani dan pakaiannya dan melindunginya
dari serangan angin, panas, terjatuh,
kebakaran, tenggelam; meminum bahan-bahan
berbahaya, dan lain-lain
sebagainya, Begitu juga dengan menyiapkan
makanan yang cukup yang mengandung unsur-unsur makanan pokok dan
kalori yang sesuai dengan tingkat
umur anak-anak. Juga harus diperhatlkan adalah suntikan melawan penyakit-penyakit
menular seperti polio, difteria, campak,
lumpuh anak-anak, batuk-batuk dan lain-lain lagi penyakit anak-anak yang
telah ditemukan oleh penyelidikan kedokteran.[3]
Juga harus diperhatikan adalah selalu mengadakan
pemeriksaan dokter terhadap berbagai
alat-alat tubuh, dan memberi peluang untuk
bergerak. badan dan mengajanya
berbagai kegiatan dan permainan yang berfaedah yang dapat menolong pertumbuhan
dan menguatkan otot-otot,
dan berbagai anggota
tubuhnya, juga harus
diberi peluang
untuk istirahat yang
diperlukan untuk kesehatan
dan tidur yang
cukup bagi jasmaninya. Juga harus diberi pengetahuan,
konsep-konsep kesehatan yang baik
dengan umurnya dan
menolong membentuk kebiasaan dan
sikap kesehatan yang
baik melalui turut
menjalankan dan menjadi
tauladan yang baik
baginya. Juga harus
diberi contoh yang baik
dalam kebersihan, cara-cara
duduk, makan, minum, dan
membimbing dia ke arah pertumbuhan
kesehatan jasmani yang normal.[4] Juga
harus disiapkan kediaman yang sehat yang
cukup syarat-syarat kesehatannya
dan selalu meneliti penyakit yang diidapnya semenjak awal pertumbuhan dan berusaha mengobatinya.
- Pendidikan Akal (Intelektual)
Walaupun pendidikan akal telah
dikelola oleh institusi-institusi yang
khusus, semenjak dahulu,
tetapi keluarga masih tetap
memegang peranan penting
dan tidak dapat
dibebaskan dari tanggung jawab ini. Bahkan ia memegang tanggung jawab besar
sebelum anak-anaknya memasuki sekolah,
di antara tugas-tugas keluarga adalah untuk menolong anak-anaknya
menemukan, membuka dan menumbuhkan kesedihan-kesedihan, bakat-bakat, minat dan
kemampuan-kemampuan akalnya dan
memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan
sikap intelektual yang sehat serta melatih indera
kemampuan-kemampuan akal tersebut.
Di antara cara-cara yang dapat dilalui oleh keluarga
untuk memainkan peranannya dalam
pendidikan ini adalah: mempersiapkan
rumah tangga dengan segala
macam perangsang intelektual dan budaya. Di antara berbagai perangsang ini adalah permainan-permainan dan
pengajaran yang bertujuan
tumbuhnya minat melihat
gambar-gambar, buku-buku dan
majalah-majalah yang menyebabkan anak-anak
gemar menelaah kandungan
buku-buku dan majalah-majalah serta bersedia
untuk membaca sebelum
ia belajar membaca
dan menulis. Di
antara cara-cara ini juga adalah membiasakan anak-anak secara umum
berfikir logis dalam
menyelesaikan
masalah-masalah yang mereka
hadapi dan memberi contoh yang
baik dan praktikal dalam
pemikiran seperti ini.
Juga membiasakan mereka
mengaitkan akibat-akibat dengan
sebab-sebabnya dan pendahuluan dengan
kesimpulannya. Begitu juga dengan membiasakan berfikir
obyektif, kejernihan dalam
mengambil keputusan, terus terang
dalam perkataan dan jangan membelok dalam pemikiran, harus praktikal dalam pemikiran dalam hidup
mereka dan lain-lain lagi cara yang dapat menolong keluarga
dalam mendidik anak-anaknya
dari segi intelektual sebelum dan
sesudah masuk sekolah.[5]
Sesudah
anak-anak masuk sekolah
tanggung jawab keluarga
dalam pendidikan intelektual bertambah
luas. Sekarang menjadi kewajiban
keluarga dalam bidang
ini adalah menyiapkan suasana yang sesuai dan menggalakkan untuk
belajar, mengulangi
pelajaran, mengerjakan tugas, mengikuti kemajuan sekolah, bekerja
sama dengan sekolah untuk
menyelesaikan masalah pelajaran
yang dihadapinya,
menggalakkan mereka untuk
mengulangi pelajaran dan membimbing mereka
cara yang paling
sesuai untuk belajar jika mereka faham akan
hal tersebut Begitu
juga dengan memberi peluang untuk
memilih jurusan pada
pelajaran yang disukainya, menghormati
ilmu pengetahuan dan
orang-orang berilmu, dan
lain-lain sebagainya.
Dalam
mengerjakan ini semua keluarga
Islam bertitik tolak dari
ayat-ayat a1-Qur-an, hadits-hadits Nabi
S.A.W. dan peninggalan-peninggalan
ulama salaf yang menekankan keutamaan akal, ilmu, dan
ulama-ulama yang mengajak manusia merenung dan berfikir pada
kekuasaan Allah yang luas.[6]
Keluarga
Islam sadar bahwa
anak-anak mereka tidak
akan menikmati perkembangan akal yang
sempurna yang merupakan pemberian dari Allah,
kecuali jika mereka mendapat
pendidikan akal, dan Jika mereka
mendapat kesempatan yang cukup di
rumah, keluarga, sekolah, dan
masyarakat pada umumnya untuk membuka mengembangkan, menumbuhkan, dan menggarap kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, minat,
dan kecakapan-kecakapan
intelektual anak-anak tersebut.
- Pendidikan Psikologikal dan Emosi
Di antara
bidang-bidang di mana keluarga dapat
memainkan peranan penting adalah
pendidikan psikologikal dan
emosional. Melalui pendidikan itu
keluarga dapat menolong
anak-anaknya dan
anggota-anggotanya secara
umum untuk menciptakan pertumbuhan emosi
yang sehat, menciptakan kematangan emosi yang sesuai
dengan umumya, menciptakan penyesuaian psikologikal yang
sehat dengan dirinya
sendiri dan dengan
orang lain di
sekelilingnya. Begitu juga
dengan menumbuhkan emosi kemanusiaan yang
mulia, seperti cinta
kepada orang lain,
mengasihani orang lemah
dan teraniyaya, menyayangi dan mengasihani orang
fakir-miskin, kehidupan emosi
yang rukun dengan orang-orang lain
dan menghadapi masalah-masalah psikologikal secara
positif dan dinamis.
Pentingnya
peranan keluarga dalam
pendidikan ini
adalah karena ia melibatkan kanak-kanak dalam
tahap awal hidupnya, di mana hubungan-hubungan dan
pengalaman-pengalaman
sosialnya belum cukup
luas, juga belum
sanggup ia berdikari
untuk menanggapi suasana di sekelilingnya. Oleh
karena sejauh yang
dapat dicapai oleh
kanak-kanak dalam penyesuaian psikologi dan
kematangan emosi pada
tingkat awal hidupnya, maka masa
depan psikologinya sebanyak
itulah pada kehidupannya di kemudian hari.
Peranan keluarga pada
pendidikan psikologi tidak
terbatas pada tingkat
kanak-kanak saja, tetapi
meliputi keseluruhan hidupnya. Langkah pertama
yang harus diambil
oleh keluarga untuk mendidik dan
memelihara anak-anaknya dari
segi psikologi adalah mengetahui segala
keperluan psikologi dan
sosialnya, serta mengetahui kepentingan cara-cara
memuaskannya untuk mencapai penyesuaian psikologi
bagi kanak-kanak tersebut.
Begitu juga harus mengetahui kepentingan cara-cara
memuaskannya untuk
mencapai penyesuaian psikologi
bagi kanak-kanak tersebut. Begitu juga
mengetahui gejala-gejala dan
sifat pemuasannya atau ketidak puasannya
dalam tingkah laku
kanak-kanak. Juga harus diusahakan untuk
memberi kesempatan bergerak
dan cara-cara bergaul yang
akan menolong ia
memuaskan kebutuhan tersebut supaya jangan
mereka merasa tidak
tenteram dan juga
merasa tidak mendapat perhatian
dan penghargaan. Juga
jangan digunakan cara-cara ancaman,
kekejaman dan siksaan badan.[7]
Di samping itu jangan ditimbulkan rasa
diabaikan, kekurangan dan
kelemahan. Begitu juga jangan
dilukai perasaan mereka
dengan kritikan tajam,
ejekan, cemoohan,
menganggap enteng pendapat,
membandingkan antara ia
dengan anak-anak tetangga
dari kaum kerabat.
Di antara
cara-cara yang dapat
digunakan oleh keluarga untuk mendidik anak-anaknya dari
segi psikologi adalah bahwa ia memberi mereka
segala peluang untuk
menyatakan diri, keinginan, pikiran dan
pendapat mereka dengan sopan dan
hormat. Di samping menolong mereka
berhasil dalam pelajaran dan menunaikan
tugas yang dibebankan kepadanya.
Semua cara-cara di atas telah dibuktikan oleh penemuan-penemuan penelitian-penelitian dalam psikologi dan
pendidikan dan diterima oleh
logika yang waras, Juga
dikuatkan oleh ajaran agama yang
bertujuan untuk menanamkan rasa tenteram, harapan dan kepercayaan diri
dan menguatkan unsur
kebenaran, kebaikan, keadilan
dan persamaan. Ajaran
ini mengejar manusia untuk
beriman kepada Allah, hari
akhirat, qadha dan qadar,
berharap kepada ampunan dan
pertolongannya dan mernperlakukan anak-anak
dengan baik dan
berbuat adil kepada
mereka
4.
Pendidikan
Agama Bagi Anak.
Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan
untuk pertumbuhan total seorang anak.[8]Pendidikan agama
dan spiritual termasuk bidang-bidang pendidikan yang
harus mendapat perhatian
penuh oleh keluarga terhadap anak-anaknya. Pendidikan agama
dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang
ada pada kanak-kanak melalui
bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dan
upacara-upacaranya. Begitu juga membekalkan kanak-kanak dengan pengetahuan-pengetahuan agama dan
kebudayaan Islam yang
sesuai dengan umumnya dalam
bidang-bidang akidah, ibadat, muamalat dan sejarah. Begitu juga dengan mengajarkan kepadanya cara-cara yang
betul untuk menunaikan syiar-syiar dan
kewajiban-kewajiban agama, dan menolongnya
mengembangkan sikap agama
yang betul, yang termasuk mula-mula sekali adalah iman
yang kuat kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya,
rasul-rasulnya, hari akhirat, kepercayaan
agama yang kuat, takut kepada
Allah, dan selalu mendapat
pengawasan daripadanya
dalam segala perbuatan dan perkataan.
Di
antara cara-cara praktis
yang patut digunakan
oleh keluarga untuk
menanamkan semangat keagamaan
pada diri anak-anak
adalah cara-cara berikut
:
a. Memberi
tauladan yaing baik
kepada mereka tentang
kekuatan iman kepada
Allah dan berpegang
dengan ajaran-ajaran agama
dalam bentuknya yang
sempurna dalam waktu
tertentu.
b. Membiasakan
mereka menunaikan syiar-syiar agama
semenjak kecil sehingga
penunaian itu menjadi
kebiasaan yang mendarah daging, mereka melakukannya dengan
kemauan sendiri dan
merasa tenteram sebab
mereka melakukannya.
e.
Menyiapkan suasana agama
dan spiritual yang
sesuai di rumah di mana mereka berada.
d. Membimbing
mereka membaca bacaan-bacaan agama
yang berguna dan memikirkan ciptaan-ciptaan Allah
dan makhluk-makhluknya untuk
menjadi bukti kehalusan
sistem ciptaan itu dan
atas wujud dan
keagungannya.
e. Menggalakkan
mereka turut serta
dalam aktivitas-aktivitas agama,
dan lain-lain.[9]
Ketika
keluarga menunaikan hal-hal
tersebut di atas,
sebenarnya ia menurut
kepada petunjuk dari
Al-Qur-an, Sunnah Nabi SAW
dan peninggalan Assalaf-Assaleh yang
semuanya mengajak untuk
melaksanakan pendidikan, mengharuskan orang tua mendidik anak-anaknya akan
iman dan akidah
yang betul dan membiasakannya mengerjakan syari’at, terutama
sembahyang. Juga agama memestikan mereka
menanamkan nilai-nilai
agama diri kebiasaan-kebiasaan Islam
pada jiwa kanak-kanak
dan menyuruh mereka menghafal
sebagian Al-Qur-an, Sunnah
Nabi s.a.w. dan sejarah
sahabat-sahabat dan Khulafa'a Al-Rasyidin supaya mereka
terbimbing kejalan yang
lurus. Rasulullah s.a.w. bersabda :
"Hak anak kepada ibu-bapaknya adalah bahwa ibu bapak
mengajarkannya Kitab Allah S.W.T., memanah, berenang
dan memberinya warisan yang baik",
Juga Sabda Rasulullah S.A.W.
"Ajarkanlah kepada anak-anakmu tiga hal: mencintai Nabi s.a.w. mencintai keluarga Nabi s.a.w., dan
membaca al Qur-an.
- Pendidikan Akhlak Bagi Anak
Pendidikan
agama berkaitan rapat
dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebih-lebihan kalau
kita katakan bahwa
pendidikan akhlak dalam pengertian Islam
adalah bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan agama. Sebab
yang baik adalah
yang dianggap baik oleh
agama dan yang
buruk adalah apa
yang dianggap buruk
oleh agama. Sehingga
nilai-nilai akhlak, keutamaan-keutamaan dalam masyarakat Islam adalah akhlak dan keutamaan
yang diajarkan
oleh agama. Sehingga
seorang Muslim tidak sempurna
agamanya sehingga akhlaknya
menjadi baik.
Hampir-hampir sepakat filosof-filosof pendidikan Islam, bahwa pendidikan akhlak
adalah jiwa pendidikan Islam.
Sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam
adalah mendidik jiwa
dan akhlak-Keluarga
memegang peranan penting
sekali dalam pendidikan akhlak untuk
anak-anak sebagai institusi
yang mula-mula sekali berinteraksi dengannya
oleh sebab mereka
mendapat pengaruh
daripadanya atas segala
tingkah lakunya. Oleh
sebab itu haruslah keluarga mengambil berat tentang pendidikan ini,
mengajar mereka akhlak
yang mulia yang
diajarkan Islam seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, kasih-sayang, cinta
kebaikan, pemurah, berani dan
lain-lain sebagainya, Dia
juga mengajarkan nilai dan
faedahnya berpegang teguh
pada akhlak di
dalam hidup; membiasakan mereka
berpegang kepada akhlak
semenjak kecil.[10]
Manusia
itu sesuai dengan
sifat asasinya menerima
nasihat jika datangnya melalui
rasa cinta dan
kasih sayang, sedang
ia menolaknya jika disertai
dengan kekasaran dan
biadab. Oleh sebab itu di antara kewajiban
keluarga dalam hal
ini adalah:
a. Memberi
contoh yang baik bagi
anak-anaknya dalam berpegang. teguh
kepada akhlak mulia.
Sebab orang tua
yang tidak berhasil menguasai
dirinya tentulah tidak
sanggup meyakinkan
anak-anaknya untuk memegang
akhlak yang diajarkannya. Di
antara kata-kata mutiara
yang terkenal dari Ali
R-A. adalah :
"Medan perang pertama
adalah dirimu sendiri, jika
kamu telah mengalahkannya, tentu
kamu akan mengalahkan yang
lain. Jika kalah
di situ, niscaya
di tempat lain kamu
akan lebih kalah.
Jadi berjuanglah disitu
lebih dahulu".[11]
b. Menyediakan
bagi anak-anaknya peluang-peluang dan
suasana praktis di mana
mereka dapat mempraktekkan akhlak
yang diterima dari orang
tuanya.
c. Memberi
tanggung jawab yang sesuai kepada
anak-anaknya supaya mereka merasa
bebas memilih dalam
tindak-tanduknya.
d. Menunjukkan
bahwa keluarga selalu
mengawasi mereka dengan
sadar dan bijaksana.
e. Menjaga mereka dari
teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat kerusakan, dan
lain-lain lagi cara
di mana keluarga dapat
mendidik akhlak anak-anaknya.
6.
Pendidikan
Sosial Pada Anak
Keluarga
belum melengkapi tugasnya
dengan sempuma dalam
pendidikan anak-anak sehingga
ia menolong anak-anak
tumbuh dari segi
sosial. Pertumbuhan sosial
ini melibatkan pendidikan
sosial, ekonomi dan
politik yang mcngatakan
bahwa kesediaan-kesediaan
dan bakat-bakat asasi
anak-anak dibuka dan dikeluarkan ke
dalam kenyataan berupa
hubungan-hubungan sosial
dengan orang-orang sekelilingnya. Pendidikan sosial
ini melibatkan bimbingan terhadap
tingkah laku sosial,
ekonomi dan politik dalam
rangka akidah Islam yang
betul dan
ajaran-ajaran serta
hukum-hukum agama yang
berusaha meningkatkan
iman, takwa kepada Allah
dan mcngerjakan ajaran-ajaran agamanya yang
mendorong kepada produksi,
menghargai waktu, jujur, ikhlas
dalam perbuatan, adil,
kasih sayang, ikhsan,
mementingkan orang lain,
tolong menolong, setia
kawan, menjaga kemaslahatan umum,
cinta tanah air
dan lain-lain lagi
bentuk akhlak yang
mempunyai nilai sosial. Di antara
cara-cara yang patut
digunakan oleh keluarga
dalam mendidik anak-anaknya dari
segi sosial, politik
dan ekonomi adalah :
a. Memberi contoh
yang baik kepada
anak-anaknya dalam tingkah
laku sosial yang sehat
berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama.
b. Menjadikan
rumah itu sebagai
tempat tercipta
hubungan hubungan sosial yang
berhasil.
c. Membiasakan
anak-anaknya secara berangsur-angsur berdikari
dan memikul tanggung jawab dan
membimbingnya jika mereka bersalah
dengan lemah lembut.
d. Menjauhkan
mereka dari sifat
manja dan berfoya-foya dan jangan
menghina dan merendahkan mereka
dengan kasar sebab sifat
memanjakan dan kekasaran
itu merusak kepribadian anak-anak.
e. Memperlakukan
mereka dengan lemah
lembut dengan menghormatinya di
depan kawan-kawannya tetapi
jangan melepaskan kekuasaan
kebapaan mereka terhadap
anak-anaknya,
f.
Menolong anak-anaknya menjalin
persahabatan yang mulia dan
berhasil, sebab
"manusia turut menjadi
baik karena berkawan dengan
orang saleh". Seperti
kata pepatah.
g. Menggalakkan
mereka mendapatkan kerja
yang dapat menolong
mereka berdikari dari segi
ekonomi dan emosi.
h. Membiasakan
mereka hidup sederhana
supaya lebih bersedia menghadapi kesulitan
hidup sebelum terjadi.
i.
Bersifat adil di
antara mereka.
j.
Membiasakan mereka cara-cara
Islam dalam makan,
minum, duduk, tidur, memberi
salam, berziarah, masuk
rumah yang telah didiami
orang dan lain-lain
lagi kegiatan hidup.[12]
Di
antara yang disebutkan Ibnu
Maskawih dalam mendidik
kepada anak-anak dan
remaja adalah :
"Jiwa kanak-kanak itu sederhana
belum ditulisi sesuatu,
belum punya pendapat
dan keputusan dari suatu
kepada yang lain,
Jika diukir suatu
gambaran dan diterimanya, maka
ia akan membawanya sampai
besar dan menjadi kebiasaan
baginya". Sepatutnyalah
jiwa serupa ini
selalu diingatkan supaya mencintai. harga
diri, terutama apa
yang berkenaan dengan
agama bukan harta, supaya
ia menetapi aturan-aturan dan
fungsi-fungsinya. Kemudian dipujilah
orang-orang baik ketika
ia berada dan
ia sendiri dipuji jika
menunjukkan sesuatu yang
baik. Dia haruslah
dilarang membuat hal
tercela begitu nampak
olehnya hal-hal keji. Dia
juga dicela bila
menginginkan
makanan-makanan, minuman-minuman
dan pakaian-pakaian mewah. Di motivasi agar
ia mengutamakan orang
lain atas dirinya
dalam makanan, dan qanaah (merasa cukup pada apa yang sudah
dikaruniai Allah) dengan sesuatu
yang sederhana, dan
jangan terlalu loba
untuk mencarinya.[13]
Dia
juga diajarkan bahwa
orang yang paling
utama menggunakan pakaian-pakaian berwarna-warni dan
berukir adalah kaum wanita". "Kanak-kanak pada
permulaan perkembangannya pada umumnya buruk
perbuatan. Kemudian setelah
diajar dan bertambah
tua dan pengalaman ia berobah
dari suatu keadaan kepada keadaan lain.
Kemudian disuruh ia
menghafal cerita-cerita dan syair-syair yang
sesuai dengan kebiasaannya dalam
hidupnya dengan sopan".
"Kemudian ia dipuji
atas setiap akhlak
baik dan perbuatan baik yang
dibuatnya kemudian ia
dimuliakan karenanya. Jika ia
berlainan daripada yang
disebutnya pada pertama
kalinya maka ia tidak
dicerca dan dibuka
rahasianya bahwa ia
telah memperbuatnya. Tetapi
dilupakan saja seakan-akan tidak
terjadi apa-apa terutama kalau
kanak-kanak itu menutup-nutupinya dan berusaha
menyembunyikan apa yang
diperbuatnya kepada
manusia, tetapi kalau
ia berbuat lagi
maka ia dicerca
secara rahasia dan
diancam jika ia
membuatnya lagi. Sebab
jika engkau membiasakan ia
mendengar rencana dan
membuka rahasia
engkau telah menyebabkan ia
bersifat nakal dan
menggalakkan ia mengulangi perbuatan yang
dianggapnya buruk, sehingga
ia mudah mendengar cercaan untuk
mengerjakan keburukan-keburukan seperti
kelezatan-kelezatan yang diingini
oleh dirinya".
"Yang pertama harus
dibuatnya adalah sopan-santun makan,
sebab itu hanya
dimaksudkan untuk kesehatan
bukan untuk kelezatan. Hendaklah
dicerca orang yang
memandang kepadanya dengan serakah
atau mengambil lebih
daripada yang diperlukan oleh badannya
atau tidak sesuai
dengannya. Jangan cepat-cepat ia makan
dan mengikutkan suapan
demi suapan dengan
cepat. Jangan ia menelan
suapan itu sebelum
dikunyahnya baik-baik. Jangan ia
mengotori tangan, pakaian
dan orang-orang makan
sama dengannya dan mengikutkan pandangan
kepada tempat
tangannya mengambil makanan". "la juga
dibiasakan jangan menelanjangi anggota-anggotanya dan
jangan cepat-cepat berjalan
dan jangan membelakangkan tangannya, tetapi diletakkan
ke depan dadanya. Hendaklah
ia jangan barbangga dengan
harta kekayaan orang-tuanya kepada
kawannya, begitu juga dengan
pakaian dan lain-lain
sebagainya."[14]
- Pendidikan Seks Pada Anak
Elisabeth Lukas,
seorang logoterapis kondang, sebagaimana disitir oleh Hanna Djumhana Bastaman
mengatakan: salah satu prestasi penting dari proses modernisasi di dunia Barat,
yakni melepaskan diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba menghambat,
sekaligus berhasil meraih kebebasan (freedom)
dalam hampir semua bidang kehidupan.[15] Di antaranya, yaitu
pertama, “kebebasan seks dan peluang untuk melakukannya ternyata menjadikan
fungsi hubungan seks bukan sebagai ungkapan cinta kasih melainkan sebagai
tuntutan dan keharusan untuk berhasil meraih puncak kenikmatan; kedua, makin
sering terjadi gangguan fungsi seksual pada pria dan wanita dewasa”.[16]
Pernyataan di atas
menjadi indikator bahwa selama ini telah terjadi penyimpangan seks. Masalah
penyimpangan seks telah terjadi sejak manusia ada, yakni sejak Nabi Adam,
manusia pertama, diciptakan Allah. Nabi Adam diciptakan Allah untuk menghuni
surga Firdaus, tempat segala kenikmatan. Semua keinginan yang terbersit di
benak Adam, langsung terwujud. Allah memang sudah memuliakannya karena memiliki
kelebihan di antara makhluk Allah yang lain. Namun, lama kelamaan ada rasa
hampa dalam dirinya. Walaupun semua kenikmatan sudah didapatkannya, ada sesuatu
yang membuat kenikmatan itu terasa belum sempurna.
Allah Maha tahu, Adam membutuhkan seorang teman, bahkan
lebih dari sekadar teman. Oleh karena itu, melalui tulang rusuk Adam,
diciptakanlah seorang manusia dengan jenis kelamin yang berbeda. Dia adalah
Siti Hawa. Dengan hadirnya Hawa, sempurnalah kebahagiaan Adam. Salah satu
kebahagiaan itu adalah kenikmatan hubungan seksual. Kenikmatan inilah yang
kemudian melahirkan manusia-manusia penghuni bumi.
Di antara anak mereka
yang sering disebut adalah Habil dan Qabil. Atas perintah Allah anak-anak Adam
yang sepasang-sepasang dikawinkan secara silang. Namun, ternyata ada yang tidak
bisa menerima keputusan tersebut, yaitu Qabil. Qabil lebih menyukai istri Habil
yang cantik. Setelah kurbannya tidak diterima Allah, timbul iri hati Qabil pada
Habil. Dengan niat ingin memiliki istri Habil, dibunuhlah saudaranya itu. Nafsu
seksual Qabil telah membutakan mata hatinya sehingga tega membunuh adiknya
sendiri.
Sejarah manusia yang
berhubungan dengan kehidupan seksual di abadikan dalam al Qur'an di antaranya
riwayat Nabi Yusuf as. Yusuf adalah seorang pria yang tampan rupawan. Ia
mengabdikan diri pada seorang pejabat tinggi di kerajaan Mesir. Istri pejabat
tinggi yang bernama Zulaikha itu tergila-gila melihat ketampanan Yusuf. Pada
sebuah kesempatan, dirayunya Yusuf untuk melayani nafsu birahinya. Sebagaimana
firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 23:
Artinya: Dan wanita (Zulaikha)
yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya
(kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata: “marilah kesini.” Yusuf
berkata: aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (suami Zulaikha) telah memperlakukan
aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang dzalim tidak akan beruntung.[17]
Yusuf yang lebih takut kepada Allah daripada majikannya itu
jelas menolak ajakan Zulaikha. Ketika meninggalkan kamar, baju belakang Yusuf
sempat ditarik Zulaikha hingga sobek. Pada saat itu, tepat di depan pintu
muncul tuannya. Zulaikha kemudian memfitnah Yusuf bahwa Yusuflah yang berusaha
memperkosanya. Walaupun sudah berargumen dengan menunjukkan baju belakangnya
yang sobek (suatu tanda bahwa Zulaikha yang menginginkan perbuatan itu), Yusuf
tetap dijebloskan ke dalam penjara. Kisah ini merupakan contoh pengaruh nafsu
seksual yang bisa membuat seseorang lupa diri dan mencelakakan orang lain.
Banyak kisah para
penguasa yang terjadi dari zaman kuno, pertengahan, hingga zaman modern yang
selalu menampilkan tokoh wanitanya. Para penguasa zaman dahulu, baik kaisar,
raja, bupati maupun kepala suku tidak ada yang hanya mempunyai satu istri. Jika
tidak berpoligami, para penguasa ini pasti mengambil selir-selir yang
barangkali sering tidak tampak di istananya. Peperangan, permusuhan dan intrik
politik tidak lepas dari masalah seks dengan wanita sebagai pemegang peranan
penting, walaupun kadang-kadang berada di belakang layar. Kehidupan free sex
atau seks bebas atau pergaulan bebas yang memang sudah ada sejak dulu kemudian
melahirkan penyimpangan-penyimpangan, seperti hidup bersama tanpa nikah, hamil
diluar nikah, homoseks / lesbian, pelacuran (prostitusi).
Seperti yang
dinyatakan Dadang Hawari bahwa:
Pada
Mei 1995 lalu dalam konferensi tahunan dari The Amirican Psychiatric
Association di Miami, ada sebuah lokakarya dengan judul Family Crisis. Hasil
dari sebuah penelitian / statistik menyebutkan bahwa dalam tiga puluh tahun
terakhir ini 60% keluarga di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian, dan
70% dari anak-anaknya berkembang tidak sehat baik secara fisik, mental, maupun
sosial. Selanjutnya dikemukakan bahwa angka perceraian semakin meningkat,
pernikahan semakin menurun karena banyak orang memilih hidup bersama tanpa
nikah dan free sex. Ketidaksetiaan (penyelewengan) dikalangan keluarga-keluarga
di AS juga cukup tinggi. Disebutkan: 75% para suami dan 40% istri-istri di AS
juga menyeleweng.[18]
Disamping itu
Nasruddin Razak mengatakan bahwa :
Dengan
terlepasnya kontrol agama terhadap perkembangan ilmu dan masyarakat, dunia
Eropa dan Amerika dilanda moral baru. Pergaulan bebas yang mutlak, hubungan
seksuil di luar perkawinan dan kelahiran bayi-bayi yang tidak punya ayah yang
jelas terjadi demikian hebatnya. Hal mana terjadi sejak dari tingkatan rendah
sampai ke cabang atas, dari mereka yang masih gadis sejak umur sepuluh tahun
sampai kepada mereka yang telah berumah tangga, sudah kawin. Jelaslah, bahwa
kemajuan ilmu dan teknologi Barat, bukanlah karena agama mereka, tapi karena jiwa
ilmiah semata.[19]
Sedangkan H. Ali
Akbar mengatakan:
Pada
generasi dahulu orang Amerika menghargai “perawan”, tidak ada seorang wanita
terhormat, berapapun umurnya melakukan hubungan seks dengan orang lain, selain
dengan suaminya. Sekarang keadaan sudah berubah, banyak di sekolah tinggi
pengaturan hidup dengan pilihan bebas mengizinkan “kebebasan seksual” tanpa
pengaturan resmi (hidup bersama / bebas tanpa kawin). Hampir semua pemuda
sekarang menerima seks sebagai bagian hidup alami, mereka mengakui bahwa wanita
menyukai dan membutuhkan aktivitas seksual sama dengan pria. Dan mereka percaya, bahwa cara orang dewasa
mengatakan perasaan mereka timbal balik adalah soal mereka, bukan soal
siapapun. Menurut kalangan ilmiah, cara berfikir seperti ini adalah sehat dan
pendekatan masalah seks terbuka sekarang ini adalah tidak lebih wajar.[20]
Terjadi pergeseran nilai seperti ini, membuat masyarakat
semakin resah terutama di kalangan orang tua dan para pendidik. Di mana melihat
anak-anak bergaul dengan bebas bersama lawan jenisnya. Panti pijat bertambah
banyak, pelacuran-pelacuran gentanyangan. Akhirnya banyak korban berjatuhan;
hamil sebelum nikah, bayi-bayi lahir tanpa ayah atau orang-orang kena penyakit
hubungan seks (PHS).
“Dilaporkan dalam
majalah bulanan Readers Digest, bahwa
di Amerika setiap tahun lahir 200 ribu anak tanpa ayah resmi. Generasi muda
Amerika sudah tidak memandang, bahwa keperawanan tidak lagi penting atau
menjadi ukuran suatu perkawinan”.[21]
Gejala-gejala tingkah
laku seksual yang bebas, tidak dapat dipungkiri lagi kehadirannya telah merusak
kaum muda bahkan dikalangan orang tuapun dan anak-anak dibawah umur menunjukkan
demikian. Apalagi kalau ditelusuri jaringan-jaringannya melalui media-media massa dan elektronik
lainnya seperti film-film, majalah, foto-foto dan buku-buku porno sudah bukan
rahasia lagi. Kata Sarlito Sarwono, diakui bahwa di ibukota penyimpangan seks
sering timbul pada remaja karena pengetahuan mereka tentang seks lewat media
massa. Menurut analisa yang diperolehnya 50% kaum remaja di kota-kota besar
lebih cepat mengetahui tentang seks lewat buku dan majalah.[22]
Gejala-gejala tingkah
laku seksual yang bebas, tidak dapat dipungkiri lagi. Semula masalah seks ini
merupakan soal pribadi orang-orang tua (suami istri) lalu pudar menjadi masalah
masyarakat. Mereka merasa bingung bagaimana cara menanggulanginya, memberi
informasi tentang seks terhadap anak-anaknya agar ia tidak terjerumus ke lembah
hitam yang penuh dosa dan noda.
Dari uraian di atas
tampaklah letak pokok masalahnya yaitu bagaimana upaya pencegahannya, agar free
sex berikut implikasinya tidak semakin berkembang? Dalam hal ini salah seorang
guru besar pada fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yaitu H. Dadang
Hawari dalam bukunya, dengan mengutip pendapat Stinnet dan John DeFrain,
membuat enam rumusan. Keenam rumusan tersebut adalah :
- Kehidupan beragama dalam keluarga
- Waktu bersama antar anggota keluarga
- Komunikasi yang baik antar anggota keluarga
- Saling harga menghargai sesama anggota keluarga
- Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat hendaknya erat dan kuat, tidak longgar dan rapuh
- Bila menghadapi “krisis” hendaknya masing-masing pasangan dapat menahan diri, mampu menyelesaikan saecara positif dan konstruktif.[23]
Berdasarkan pada uraian di atas, maka pendidikan
seks pada anak hartus ditanamkan sejak dini. Sehingga anak menjadi tahu dampak
positif dan negatifnya seks, serta akan menjadi tahu seks mana yang sesuai dan
yang menyimpang dari Islam.
[1]
Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar gandaatmaja (penyunting), Keluarga Muslim
Dalam Masyarakat Modern, cet 2, PT.Remaja Rosdakarya Bandung, 1994, hlm.58.
,
[2]
Ramayulis, Pendidikan Islam dalam
Rumah Tangga, cet 4, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, hlm.81.
[3]
Ahmad Tafsir (editor), Pendidikan Agama Dalam Keluarga, cet 4, PT.Remaja Rosdakarya Bandung, 2002, hlm43.
[4] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam :
Suatu Analisa Sosio Psikologikal, Pustaka Antara, 1979, hlm.
76.
[5]
Jalaluddin, Psikologi Agama, cet 8, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hlm.63.
[6]
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasiu Psikologi Dengan Islam Menuju Psikologi Islami, cet 2, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm.163.
[7]
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, cet 16, Bulan Bintang, Jakarta, 2003,
hlm.46
[8]
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, cet 2, Paramadina, Jakarta, 2000,
hlm.93.
[9]
Jalaluddin Rakhmat dan Muhtar gandaatmaja (penyunting), Keluarga Muslim
Dalam Masyarakat Modern, cet 2, PT.Remaja Rosdakarya Bandung, 1994,
hlm.119.
[10]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, cet 4, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hlm.169.
[11]
Asmaran, AS, Pengantar Studi Akhlak, cet 3, PT.Raja Grapindo Persada,
Jakarta, 2002, hlm.185.
[12]
Muhammad Zain Yusuf, akhlak Tasawuf, Al-Husna Semarang, 1993, hlm.49.
[13]
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Mizan, tth, hlm.147.
[14] Ibid
[15] Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
Dengan Islam, menuju psikologi islami, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1995,
hlm. 192.
[16] Ibid.
[17]
Departemen Agama RI, al Qur'an dan
Terjemahannya, Surya Cipta Aksara, Surabaya 1993.
[18] H.
Dadang Hawari, al Qur'an, Ilmu Kedokteran
Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Cet. VII, PT. Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta,
1998, hlm. 109 -110.
[19]
Nasruddin Razak, Dienul Islam, Cet.
IX, Al Ma’arif, Bandung, 1986, hlm. 30.
[20] H. Ali
Akbar, Merawat Cinta Kasih, Pustaka
Antara, Jakarta, 1971, hlm. 79 - 80
[21] Ibid.
[22] BKKBN, Opini, No. 2. Th. 1, BKKBN, Jakarta,
1984, hlm. 19.
[23] H.
Dadang Hawari, Op.Cit, hlm. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar