Rabu, 27 Agustus 2014

Evaluasi Pendidikan Agama di Sekolah

"+"

EVALUASI
PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH


Pendidikan adalah upaya sadar dan tanggung jawab untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia, agar ia memiliki makna dan tujuan hidup yang hakiki.[1] Sebagai suatu proses, pendidikan bertujuan untuk menimbulkan perubahan-perubahan perilaku yang meliputi pengetahuan, kecakapan, pengertian, sikap, ketrampilan dan sebagainya.
Azizy berpendapat bahwa esensi pendidikan yaitu adanya transfer nilai, pengetahuan, dan ketrampilan dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu, ketika kita mengaitkannya dengan pendidikan Islam, maka akan mencakup dua hal, yaitu mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam dan mendidik siswa untuk mempelajari materi pelajaran ajaran Islam.[2]
Sedangkan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Tujuan Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[3] Guna mencapai tujuan pendidikan nasional maka di lembaga-lembaga pendidikan baik di tingkat dasar, menengah atas maupun di perguruan tinggi perlu ada Pendidikan Agama.
Pendidikan Agama Islam di sekolah merupakan usaha seorang guru mendidik siswanya meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan mencapai  tujuan yang telah ditetapkan.[4] Adanya Pendidikan Agama Islam diharapkan siswa melalui pengalaman belajarnya dapat mengetahui, mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam pada kehidupan sehari-hari.
Untuk mengetahui perubahan perilaku siswa meliputi pengetahuan, kecakapan, pengertian, sikap ketrampilan dan sebagainya, seorang guru perlu melakukan kegiatan penilaian hasil pengalaman belajar siswa, oleh karena itu  penilaian sebagai titik sentral dalam proses belajar mengajar.
Fungsi penilaian yaitu sebagai perbaikan program pembelajaran dan membantu siswa untuk merealisasikan dirinya dalam mengembangkan perilakunya serta mendorong motivasi belajar siswa yaitu dengan cara mengenal kemajuan sendiri dan merangsang untuk melakukan usaha perbaikan apabila ditemukan beberapa kelemahan dan kegagalan. Guru harus terus menerus memotivasi siswa agar hasil belajarnya meningkat. Jadi dari hasil penilaian berbasis kelas guru maupun siswa dapat melakukan perbaikan belajar dan melalui umpan balik inilah seluruh pihak yang berkepentingan baik kepala sekolah, guru dan siswa pada proses pembelajaran akan menjadi lebih efisien dan efektif.[5]
Untuk menilai proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam, juga dapat menggunakan penilaian berbasis kelas yang dapat dilakukan oleh guru secara terus-menerus dan terpadu pada kegiatan pembelajaran yaitu dengan pengumpulan kerja peserta didik (portofolio), hasil karya (product), penugasan (project), kinerja (performance), tindakan (action), dan tes tertulis (objektif dan subjektif).[6] Penilaian berbasis kelas berguna bagi guru dapat mengetahui perkembangan kemampuan siswa baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik pada pembelajaran agama di sekolah.




[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), Cet. IV, hlm. 195.
[2]Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. I, hlm. 131.
[3] UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 Tentang Tujuan Pendidikan Nasional, hlm. 6.
[4] Abdul Majid, Dian Andayani, Ibid., hlm. 132.
[5] Sumarna Surapranata dan Muhammad Hatta, Penilaian Berbasis Kelas; Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2006, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 15.
[6] Pedoman PAI untuk Sekolah Umum Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Direktorat Madrasah dan PAI pada Sekolah Umum 2004, hlm. 47.

Teori Belajar Konstruktivistik dalam Pembelajaran

"+"

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
DALAM PEMBELAJARAN

Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang memiliki filosofi sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang pendidikan, dan memunculkan beragam metode dan strategi baru[1].  Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pemutakhiran kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “ ….constructing and restructuring of knowledge and skill (schemata) whitin the individual in acomplex network of increasing conceptual consistency….”  Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan diri dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya[2]
Konstruktivistik menjadi landasan dan kecenderungan yang muncul dalam dunia pembelajaran, seperti perlunya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, mengembangkan kemampuan belajar mandiri, memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri, serta perlunya guru menjadi fasilitator, mediator, dan manajer dari proses pembelajaran itu sendiri.
Sebagai suatu pendekatan dalam proses pembelajaran, konstruktivistik menekankan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) pengetahuan yang dibangun siswa secara aktif, (2) tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, (3) mengajar adalah membantu siswa belajar, (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan pada hasil akhir, (5) kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan (6) guru adalah fasilitator .[3]
Konstruktivistik berhubungan erat dengan beberapa teori belajar, diantaranya adalah teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori skema. Teori perubahan konsep menekankan bahwa siswa mengalami perubahan konsep secara terus menerus. Hal ini sejalan dengan konstruktivistik yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar. Dengan kata lain, teori perubahan konsep sangat dipengaruhi oleh konstruktivistik. Posner, dkk menyatakan bahwa, dalam belajar ada proses perubahan konsep yang mirip dengan yang ada dalam filsafat sains tersebut. Asimilasi dan akomodasi merupakan tahapan perubahan konsep tersebut[4].
Dalam asimilasi, siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punya untuk berhadapan dengan fenomena yang baru, sedangkan dalam akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena yang baru mereka hadapi. Konstrutivistik membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang guru membantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong guru agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada siswa, sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan.
Teori belajar bermakna Ausubel menekankan bahwa informasi baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar.[5] Belajar bermakna terjadi jika siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Hal ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dimiliki siswa. Teori belajar bermakna Ausubel sangat dekat dengan inti pokok konstruktivistik. Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dimiliki. Disamping itu keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa.
Pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan konstruktivistik dengan menggunakan metode tertentu didasarkan atas asumsi bahwa siswa datang ke kelas sudah memiliki ide dan pengetahuan berdasarkan informasi yang didapat di lingkungan sekitarnya. Melalui proses pembelajaran konstruktivistik, siswa menambah, merevisi atau memodofikasi struktur pengetahuan lama menjadi struktur pengetahuan baru. Menurut Pannen, dkk bahwa dalam konstruktivisme, pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya.[6]
Sebagai akibat penekanan pendekatan konstruktivistik berpusat pada siswa, sehingga dalam mencapai pemahaman yang benar dalam konstruksi pengetahuan siswa diperlukan metode-metode yang mendukung proses pembelajarannya. Belajar aktif, penafsiran, masuk akal, pertukaran pemikiran, kerjasama dan inkuiri (menyelidik) merupakan kata kunci dalam metode pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik.
Anggapan lama yang mengatakan bahwa siswa itu tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan sebelum menerima materi pelajaran dari guru, kiranya tidak cocok dengan prinsip konstruktivistik, karena yang terpenting dalam pendekatan konstruktivistik adalah bahwa dalam proses belajar siswalah yang harus mendapatkan prioritas. Siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka sendiri. Siswa yang kreatif dan aktif mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mereka sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena mereka berfikir dan bukan meniru saja.



[1] Muijs D & Reynolds D, Effective Teaching, Teori dan Aplikasi (Terjemahan Helly Prajitno S & Sri Mulyantini S),  London : Sage Publication Ltd (Buku Asli edisi kedua diterbitkan tahun 2008) hal. 95
[2]Asri Budiningsih, C. Karakteristik siswa sebagai pijakan pembelajaran. (Yogyakarta: Diktat Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, 2004) hlm 5
[3]Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam pembelajaran, (Yogyakarta: Kanisius. 2001) hlm. 73
[4] Ibid., hlm.  50
[5] Ibid., hlm.  54
[6]Pannen, P. dkk, Konstruktivisme dalam pembelajaran, (Jakarta: Departemen pendidikan nasional Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Proyek pengembangan universitas terbuka, 2001) hlm. 22

Analisis Pembelajaran

"+"

ANALISIS PEMBELAJARAN

Proses pembelajaran merupakan interaksi antara guru dan siswa. Proses kegiatan pembelajaran dapat berlangsung bila adanya kerja sama antara guru dan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Konsekuensi dalam pelaksanaan pembelajaran  harus membantu siswa mengembangkan potensi yang dimiliki siswa untuk menghadapi lingkungan hidupnya, baik fisik maupun lingkungan sosial di mana mereka berada.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan kombinasi variabel pembelajaran  baik itu guru, karakteristik siswa, metode pembelajaran, media pembelajaran dan sarana prasarana yang menunjang lainya. Dalam proses pembelajaran ilmu pengetahuan sosial seorang guru harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: (a) kemampuan memberikan bekal pengetahuan tentang manusia dan seluk-beluk kehidupan dalam astagatra kehidupan, (b) membina kesadaran, keyakinan dan sikap rasa kebersamaan, bertanggung jawab, (c) membina keterampilan hidup bermasyarakat dalam negara Indonesia yang berlandas kan Pancasila, dan (d) membina, memberi bekal kesiapan untuk belajar lebih maju.[1]
Disamping kemampuan tersebut, guru dalam mengembangkan materi pelajaran, model kegiatan pembelajaran serta sistem evaluasi harus memperhatikan perbedaan karakter siswa, baik dari kemampuan belajar atau gaya belajarnya. Hal ini sangat penting diperhatikan guru agar materi pelajaran ilmu pengetahuan sosial dapat menarik, tidak membosankan, menyenangkan dan mudah diterima oleh siswa.
Untuk itu, setiap guru harus mampu mendesain kondisi (model) pembelajaran yang demoktaris, kreatif, di mana siswa terlibat langsung sebagai subjek maupun objek pembelajaran, dalam arti strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memilih kadar keterlibatan dan keragaman siswa sehingga hasil pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
Pembelajaran berkualitas dapat terjadi apabila ada kerja sama yang baik antara guru dan siswa, serta didukung oleh fasilitas yang menunjang dalam kegiatan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada hasil meta analisis terhadap beberapa penelitian yang dilakukan oleh Mirrison, Mokashi dan Caffer  dari tahun 1996-2006 yang menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Berdasarkan meta analisis tersebut disimpulkan adanya 44 indikator kualitas pembelajaran yang dikelompokkan kedalam 10 kategori. Secara umum ke 10 indikator kualitas pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
(1). Rich and stimulating physcol environment, (2) Classroom climate condusive to learning, (3)  Elear ang high expection for all student, (4) Cherent, focused instruction, (5) Thougtful discoure, (6) Outhentic learning, (7) Regular diagnostic assessment fot learning, (8) Reading and writing as assential activites, (9) Mathematical reasoning, (10) Effective use of technology.
Dari hasil meta analisis tersebut dapat dipahami bahwa: (1) Lingkungan fisik mampu menumbuhkan semangat siswa untuk belajar, (2) Iklim kelas kondusif untuk belajar, (3) Guru menyampaikan materi pembelajaran  secara koheren dan fokus, (5) Wacana yang penuh pemikiran, (6) Pembelajaran  bersifat rill (autentik dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan siswa), (7) Adanya penilaian diagnostik yang dilakukan secara periodik, (8) Membaca dan menulis sesuatu kegitan yang esensial dalam pembelajaran, (9) menggunakan penalaraan pemecahan masalah dan (10) menggunakan teknologi pembelajaran.[2]
 
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menyiapkan dan merancang model pembelajaran ilmu pengetahuan sosial yang inovatif.  Menurut Johnson  menyatakan “Attitude are important determinants of behavior. When instruction creates interest and enthusiasm, learning will be easier, more rapid, and result in higher achievement[3] (sikap merupakan penentu yang terpenting bagi perilaku). Ketika pembelajaran dibuat menarik dan bersemangat, belajar menjadi lebih mudah, lebih cepat dan prestasi menjadi lebih tinggi.
Dari pemahaman tersebut, siswa sebagai fokus utama dalam proses pembelajaran, dan untuk lebih menjamin tercapainya tujuan pembelajaran, maka kegiatan pembelajaran seharusnya berpusat pada siswa. Artinya kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Keaktifan siswa dimaksud  tidak saja ditentukan dari segi fisik,  tetapi juga mental, dan sosial. Bila hanya fisik yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai, disamping itu juga guru sebagai fasilitator  harus mampu memilih dan menentukan tujuan-tujuan pendidikan yang bermakna dan dapat terukur.
Melihat betapa banyaknya peran dan tanggung jawab guru, maka sebagai seorang guru harus mampu menguasai tuntutan dari profesinya. Mulai dari kompetensi pribadinya, kompetensi mengajarnya, profesinalisme guru, dan  kreativitas guru. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembelajaran yang kondusif, menyenangkan, kreatif, aktif, dan efektif maka guru harus memiliki kemampuan dan usaha yang maksimal.
Salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah kemampuan menggunakan metode yang bervariasi. Metode mengajar adalah cara dalam melaksanakan strategi pembelajaran. Dalam pemilihan metode, sebaiknya para pendidik memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan, (b) kemampuan pendidik, (c) kebutuhan siswa, dan (d) isi atau materi pembelajaran.[4]
Metode mengajar yang dapat digunakan oleh guru diantaranya: metode ceramah, tanya jawab, diskusi, kisah/cerita, demonstrasi, karyawisata, tutorial, perumpamaan, pemahaman dan penalaran, suri teladan, peringatan dan pemberian motivasi, praktek, bimbingan, kerja sama, tulisan, dan metode penugasan[5]  Menurut Santrock salah satu tujuan penting pembelajaran adalah membantu murid menjadi lebih kreatif. Strategi yang dapat mengilhami kreativitas murid antara lain brainstorming, memberi  murid lingkungan yang memicu kreativitas, tidak terlalu mengatur murid, mendorong motivasi internal, mendorong pemikiran yang fleksibel dan menarik, dan memperkenalkan murid dengan orang-orang yang kreatif[6]



[1] Tim Dosen IPS, Diktat Dasar-dasar IPS,  (Yogyakarta: FISE, Universitas Negeri Yogyakarta, 2002) hlm. 27
 [2]Sugeng Eko Putro Widoyoko,Model Pembelajaran Evaluasi Program Pembelajran IPS di SMP (Desertasi), (Yogyakarta:  Program Pascasarjana UNY, 2008).
[3]Johnson, DW. & Johson, R.T ., Meaningful Assessmen: A manageable and cooperative process, (Boston:  Ally and Bocon, 2002) hlm. 168
 [4]Suwardi, Manajemen pembelajaran: menciptakan guru kreatif dan berkompetensi, (Surabaya: PT. Temprina Media Grafika, 2007). hlm. 62
[5]Fathurrohman, P. & Sutikno, M. S., Strategi belajar mengajar: melalui penanaman konsep umum dan konsep islami. Cet. II, (Bandung: Refika Aditama, 2007). hlm. 61
             [6]Santrock, J. W. Life-span development (5th ed), (Terjemahan Ahmad Chusairi & Juda Damanik), University of Texas at Dallas: Brown Communication, Inc. (Buku asli diterbitkan tahun 1995). hlm. 366

Senin, 07 Juli 2014

Pelaksanaan Bimbingan & Konseling; Membentuk Perkembangan Perilaku Anak

"+"



Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling;
Membentuk Perkembangan Perilaku Anak


Pada jenjang pendidikan SMP/ MTs merupakan usia-usia remaja bagi setiap peserta didik. Pada posisi ini para remaja berada dalam masa puber. Apabila pertumbuhan dan perkembangan anak telah beralih memasuki masa remaja, maka mereka akan mengalami perubahan sikap dan perilaku yang kadang-kadang drastis seperti malas belajar, lalai melaksanakan ibadah, menjadi pendiam dan pemogok, mulai merokok dan lain-lain. Sesungguhnya penyimpangan sikap dan perilaku remaja, tidak terjadi secara tiba-tiba akan tetapi melalui proses panjang yang mendahuluinya. Sedemikian banyak perubahan yang terjadi pada umur remaja itu, sudah pasti membawa kepada kegoncangan emosi.[1]  
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya baik dan berguna bagi kemajuan bangsa. Tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu telah disalahgunakan oleh sebagian manusia. Disinilah letak bahaya dan ancaman terhadap kehiduapan beragama para remaja. Berbagai hal yang disajikan lewat media elektronik dan media cetak yang tidak jarang bertentangan dengan budaya Timur dan agama Islam, akan menyesatkan perilaku para remaja. Pengaruh yang dibawa oleh berbagai media itu tentu ada yang positif dan negatif. Bimbingan keagamaan perlu diberikan agar mereka mampu menyaring memilih mana yang baik untuk diambil.[2]
Apabila kita memperhatikan remaja yang sedang mengalami kegoncangan emosi, angan-angannya banyak. Khayalan tentang yang terlarang dalam agama mulai muncul, sebagai akibat pertumbuhan jasmaninya yang mendekati ukuran orang dewasa, sedangkan kemampuan mengendalikan diri lemah. Akibatnya terjadi kegoncangan emosi, walaupun kemampuan berpikir telah matang, karena itu remaja yang sedang dalam gejala pertumbuhan yang kurang terlatih dalam nilai moral dan agama mudah terseret dalam mengagumi dan meniru apa yang menyenangkan dan menggiurkannya. Perbuatan salah perilaku menyimpang, ketidakpuasaan terhadap orang tua, dan mungkin pula melakukan hal-hal terlarang dalam agama dan hukum negara, merupakan menu sehari-hari. Karena hal-hal tersebut untuk membentengi remaja dari kemungkinan terjadinya penyimpangan. Selanjutnya dicari jalan terbaik bagi pembentukan dan pembinaan remaja agar menjadi manusia yang teguh umumnya, kokoh pendiriannya, terpuji akhlaknya dan tinggi semangatnya untuk membangun bangsa, masyarakatnya kepada kehidupan bahagia. Maka usaha yang dapat dilakukan adalah mencari jalan preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan konstrutif (pembinaan).[3]
Sekolah dapat menumbuhkan nilai-nilai akhlak dan prinsip-prinsip yang diperlukan dalam penyesuaian diri remaja dengan masyarakat. dalam situasi dan kegiatan kelompok, misalnya : sekolah dapat menumbuhkan jiwa demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan, kesetiakawanan dan nilai-nilai lain, terutama nilai-nilai yang berpengaruh dengan perilaku. Sekolah dapat membantu siswa dalam memahami tentang perkembangan perilakunya.
Guru dan semua tenaga kependidikan disekolah mempunyai peranan yang penting dalam penanggulangan sikap dan perilaku menyimpang para anak didik. Guru adalah tenaga pendidik yang secara tehnis mempunyai bekal ilmu dan ketrampilan untuk membantu anak didik memperoleh sikap perilaku terpuji. Yang disini adalah semua guru yang mampu menjangkau perasaan remaja dan menghargai serta mendorong mereka untuk aktif dalam kegiatan sekolah serta suka memberikan perubahan yang obyektif. Guru yang terbuka hatinya untuk mendengarkan keluhan muridnya bagi remaja dipandang sebagai konselor yaitu tenaga ahli di sekolah yang mempunyai tugas khusus dalam memberikan bimbingan dan konseling.


[1]Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Ba’adillah Press, Jakarta, 2002, hlm. 103.
[2]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 85.

[3]Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan, Andi Offset, Yogyakarta, 1995, hlm. 22.

Konsep Dasar Bimbingan Konseling

"+"



Konsep Dasar
Bimbingan Konseling


Dalam kehidupan manusia mempunyai berbagai masalah yang selalu membuatnya terpuruk dalam permasalahan. Ini disebabkan karena manusia sebagai mahluk sosial yang selalu ingin bergaul dengan siapa saja. Diantara mereka mempunyai kepribadian atau sifat yang berbeda, sehingga banyak permasalahan yang mempengaruhi kehidupannya.
Permasalahan yang terjadi menimpa pada semua kalangan, khususnya para remaja. semua permasalahan yang terjadi harus dipecahkan, kalau tidak segera dipecahkan masalah-masalah tersebut dapat menghambat kelancaran proses belajar dan perkembangan anak didik meskipun masalah yang dihadapi tidak ada kaitannya dengan kegiatan akademik dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya bagi tenaga pendidikan. Selain itu pengaruh pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah pembinaan perilaku anak didik sehingga berhasil sebagaimana diharapkan dalam perkembangannya.
a.       Pengertian Bimbingan
Bimbingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah petunjuk (penjelasan) cara mengerjakan sesuatu tuntunan pimpinan.[1] Sedang berdasarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 29/1990, bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.[2]
Menurut Rahman Natawidjaya (1978) bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri sehingga ia sanggup mengarahkan dirinya dan bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah., keluarga, dan masyarakat serta kehidupan pada umumnya. [3]
Dengan demikian, dia akan dapat menikmati kebahagiaan kehidupan masyarakat pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.
Sedangkan pakar yang lain menyatakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dari beberapa pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli itu, maka bimbingan merupakan :
1)      Suatu proses yang berkesinambungan.
2)      Memberikan bantuan kepada individu.
3)      Bantuan yang diberikan itu dimaksudkan agar individu dapat memahami keadaan dirinya dan mampu mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan kemampuan dan potensinya.
4)      Kegiatan yang bertujuan utama memberikan bantuan agar individu dapat memahami keadaan dirinya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.


b.      Pengertian Konseling

Konseling berasal dari kata counsel yang diambil dari bahasa latin yaitu consilium yang artinya “bersama”  atau “bicara bersama”. Pengertian berbicara bersama, dalam hal ini adalah pembicaraan konselor (counselor) dengan seseorang atau beberapa klien (counselee).[4] Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konseling adalah pemberian bimbingan oleh yang ahli pada seseorang dengan menggunakan pendekatan psikologis atau proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konsele sedemikian rupa sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam memecahkan berbagai masalah.[5]
Menurut Edwin C. Lewis (1970) konseling adalah suatu proses dimana orang yang bermasalah (klien) dibantu secara pribadi untuk merasa dan berperilaku yang lebih memuaskan melalui interaksi dengan seseorang yang tidak terlibat (konselor) yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan perilaku-perilaku yang memungkinkannya berhubungan secara lebih efektif dengan diri dan lingkungannya.[6]
Sedangkan pakar yang lain menyatakan bahwa konseling adalah suatu upaya bantuan yang diberikan kepada konsele supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri. Untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang.

Dari beberapa pengertian konseling yang dikemukakan para ahli itu, maka dapat disimpulkan bahwa :
1)      Konseling merupakan proses interaksi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien.
2)      Dalam proses pemberian bantuan.
3)      Dilakukan dalam suasana profesional.
4)      Berfungsi dan bertujuan sebagai alat (wadah) untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien.


[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Pusat Pembinaan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 133.
[2]Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 18.
[3]Ibid, hlm. 19.
[4]Priyatno dan Ermananti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 99.
[5]Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit, hlm. 519.

[6]M. Hamdani Bakran Adz-Dzaki, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, hlm. 179.